Pengakuan eksistensi hak ulayat oleh
UUPA merupakan hal yang wajar, karena hak ulayat beserta masyarakat hukum adat
telah ada sebelum terbentuknya negara Republik Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945.Kongres Pemuda tahun 1928 telah menetapkan Sumpah Pemuda
yang menyangkut hukum adat, mengeluarkan dasar persatuan Indonesia diperkuat
dengan memerhatikan dasar persatuan, kemauan, sejarah, bahasa, hukum adat dan
pendidikan, dan kepanduan. Dengan demikian, kita telah mengambil suatu sikap
politik tertentu atas hukum adat, termasuk segi idealnya bahwa hukum adatlah
kelak menjadi dasar hukum Indonesia.
Secara formal, eksistensi dan
pengakuan adanya masyarakat hukum adat dan hak-haknya telah tertuang di dalam
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 B ayat (2) yang menyebutkan Negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang
dan dalam pasal 28 I ayat (3) yang menyebutkan Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban.
Dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) pasal 3 jo. pasal 58 masih
mengakui hak ulayat dan hak-hak lainnya sejenis yang tidak bertentangan dan
selama belum diatur secara khusus. Dalam pengertian ‘masih ada’ itu seyogyanya
tidak ada usaha untuk meniadakan hak tersebut. Sesuai dengan ketentuan dalam
pasal 5 bahwa hukum agraria sekarang adalah hukum adat, maka penentuan hak-hak
atas tanah itu didasarkan pula pada sistematik hukum adat.
Mengenai eksistensi
hukum adat dalam hukum agaria, menurut Urip Santoso adalah sebagai berikut:
1) Hukum adat sebagai
dasar utama, dan
2) Hukum adat sebagai
hukum pelengkap.
Dalam hubunganya dengan
tanah, menurut alam pikiran hukum adat tertanam keyakinan bahwa setiap kelompok
masyarakat hukum adat tersedia suatu lingkungan tanah sebagai peninggalan
pemberian dari sesuatu kekuatan gaib sebagai pendukung kehidupan kelompok dan
para anggotanya sepanjang zaman. Disinilah sifat religius hubungan hukum antara
para warga masyarakat hukum adat bersama dengan tanah ulayatnya ini.
Berdasarkan
corak dari masyarakat hukum adat yaitu bersifat religio-magis dan kedudukan
tanah adalah hal yang penting bagi masyarakat adat, maka jelas bahwa masyarakat
hukum adat dapat dipastikan akan menjaga kelestarian tanah hak ulayatnya,
termasuk obyek dari hak ulayat tersebut, yaitu tumbuh-tumbuhan dan segala yang
ada di atas maupun yang terkandung di dalam tanah ulayat mereka termasuk hutan.
Hak ulayat bisa
dikatakan adalah semacam hak kekuasaan, hak menguasai, bahkan menyerupai
semacam kedaulatan suatu persekutuan hukum adat (rechtgemeenschaap) atas suatu wilayah tertentu. Hal ini merupakan serangkaian hak masyarakat hukum adat, yang
berhubungan dengan tanah dalam wilayahnya yang merupakan pendukung utama
penghidupan masyarakat yang bersangkutan.
Undang-Undang Pokok Agraria dalam
pasal 46 mengutarakan bahwa hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya
dipunyai oleh warga negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Di
sini tidak disebut bahwa membuka tanah ulayat harus ada izin dari pemerintah,
hanya disebut akan diatur oleh Peraturan Pemerintah.
Dalam UU No 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, Pasal 67 ayat (1), yang berbunyi: Masyarakat hukum adat
sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, berhak:
1. melakukan pemungutan hasil hutan untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dari masyarakat adat yang bersangkutan;
2. melakukan kegiatan pengelolaan hutan
berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan UU, dan
3. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraannya.
Dari segi hak asasi
manusia yang terelaborasi dengan beberapa peraturan perundanga-undangan dan
konstitusi maka tampak bahwa eksistensi masyarakat hukum adat dan hak-hak
tradisionalnya termasuk hak ulayat telah diakui keberadannya, sehingga
perampasan hak ulayat dan hak-hak lain yang menyerupainya dari masyarakat hukum
adat merupakan bentuk pelanggaran konstitusional (inkonstitusi) dan pelanggaran
hak asasi manusia.
Dalam teori ekologi-manusia Hubungan
Manusia dengan lingkungannya (sumber daya alamnya) dijelaskan oleh Merchant
(1996) sebagai suatu hubungan yang terbagi atas tiga paradigma yang mempunyai
dasar pemikiran yang berbeda-beda, yang pada masyarakat adat dan masyarakat
pendatang lama yang telah hidup bergenerasi-generasi, melihat bahwa dirinya
merupakan bagian dalam lingkungan sehingga intinya merupakan lingkungan itu
sendiri. Lingkungan tidak lagi dilihat hanya sebagai sumber daya tetapi dilihat
sebagai suatu lingkungan yang terbatas. Nilai dan norma yang berlaku di
masyarakat terbentuk berdasarkan pengalaman hidupnya berinteraksi dengan
lingkungannya. Paradigma ini disebut Society in Self (Lingkungan di
dalam Diri Sendiri).
Fakta empris di lapangan
menunjukkan bahwa keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisonalnya justru
turut serta menjaga dan melindungi hutan. Hal ini ditunjukkan melalui penelitian yang pernah dilakukan oleh Yayasan Sejati di 4
propinsi (Kalimantan Timur, Maluku, Irian Jaya dan Nusan Tenggara Timur)
menunjukkan bahwa walaupun sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain namun
secara umum bisa terlihat beberapa prinsip-prinsip kearifan adat yang masih
dihormati dan dipraktekkan oleh kelompok kelompok masyarakat adat, yaitu antara
lain:
1) masih hidup selaras alam dengan mentaati mekanisme
ekosistem di mana manusia merupakan bagian dari ekosistem yang harus dijaga
keseimbangannya;
2) adanya hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama
komunitas (comunal tenure/"property" rights) atas suatu kawasan hutan
adat masih bersifat eksklusif sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan
mengamankannya dari kerusakan;
3) adanya sistem pengetahuan dan struktur kelembagaan
(pemerintahan) adat yang memberikan kemampuan bagi komunitas untuk memecahkan
secarabersama masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya
hutan;
4) ada sistem pembagian kerja dan penegakan hukum adat untuk
mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan baik oleh
masyarakat sendiri maupun oleh orang luar;
5) ada mekanisme pemerataan distribusi hasil
"panen" sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan
sosial di tengah masyarakat.
Kearifan adat yang sangat beragam
ini masih mendominasi sistem pengelolaan hutan di seluruh pelosok
nusantara.Masyarakat adat yang belum banyak diintervensi oleh kebijakan
pemerintah yang sifatnya eksploitatif, masih mengelola hutan adatnya dengan
otonom untuk menjamin keberlangsungan kehidupan mereka sehari-hari. Penguasa
adatpun berwenang untuk menunjuk hutan-hutan tertentu sebagai hutan cadangan
yang tidak boleh dibuka oleh siapapun. Ia berwenang pula menunjuk tanah-tanah
tertentu untuk dipakai guna keperluan umum atau keperluan bersama, misalnya
untuk kuburan, tempat penggembalan, masjid, dan lain-lainnya. Masing-masing itu
mempunyai hukumnya yang khusus.
Urgensi adanya
pencabutan hak ulayat dalam kawasan hutan lindung tidak terlepas dari ketentuan
konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 33
ayat (3) UUD NRI 1945. Pasal 2 UUPA yang merupakan aturan pelaksanaan pasal 33
ayat 3 UUD 1945 menjelaskan pengertian hak menguasai sumber daya alam oleh
Negara. Pengertian dikuasai oleh Negara bukan berarti dimiliki, melainkan hak
yang memberi wewenang kepada Negara untuk menguasai seperti hal tersebut diatas.
Isi wewenang Negara yang bersumber pada hak menguasai Sumber Daya Alam oleh
Negara tersebut semata-mata bersifat publik yaitu, wewenang untuk mengatur
(wewenang regulasi) dan bukan menguasai tanah secara fisik dan menggunakan
tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang bersifat pribadi. Ini semua sejalan dengan GBHN 1999-2004 dalam aspek
pertanahan yang mengatakan secara tegas; …Dikembangkan kebijakan pertanahan
untuk meningkatkan pemanfaatan dan penggunanan tanah secara adil, transparan dan
produktif dan mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat dan
masyarakat adat, serta berdasarkan tata ruang wilayah seimbang.
Pengambilalihan hak
ulayat tanpa persetujuan masyarakat adat merupakan bentuk dari pelanggaran Hak
Asasi Manusia, hal ini tertuang dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia
sebagaimana terdapat dalam Pasal 6 yang berbunyi: “Dalam rangka penegakan hak
asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus
diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah”.
Berdasarkan ketentuan
Pasal 2 ayat (1) Perpres 65 tahun 2006 menyatakan Pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
Sedangkan, kriteria yang termasuk Kepentingan umum adalah sesuai dengan Pasal 5
yang menyatakan Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah
atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang selanjutnya dimiliki
atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi :
- jalan umum dan jalan tol, rel kereta api
(di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah),
saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
- waduk, bendungan, bendungan irigasi dan
bangunan pengairan lainnya;
- pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta
api ,dan terminal;
- fasilitas keselamatan umum, seperti
tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
- tempat pembuangan sampah;
- cagar alam dan cagar budaya;
- pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
Jika dikaji mengenai
kawasan hutan lindung berkaitan dengan kriteria kepentingan umum maka sejatinya
kawasan hutan lindung bukan merupakan bagian dari aspek kepentingan umum,
karena ketentuan pasal 5 Perpres 65 tahun 2006 bersifat limitatif sehingga
tidak terbuka penafsiran lain selain yang disebut dalam peraturan tersebut.
Kita perlu mencermati pula ketentuan dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, Dimana
hutan lindung berdasarkan pasal 1 angka 8 adalah kawasan hutan yang mempunyai
fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur
tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan
memelihara kesuburan tanah.
Berdasarkan
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pada pasal 1 angka 21
menyatakan bahwa Kawasan lindung adalah wilayah yang
ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang
mencakup sumber alam dan sumber daya buatan dalam
pasal 20 ayat (1) huruf c menyebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
memuat rencana pola ruang wilayah nasional yang meliputi kawasan lindung
nasional dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional. Sehingga
dari ketentuan tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa hutan lindung
merupakan bagian dari kawasan lindung yang merupakan bagian dari rencana tata
ruang wilayah nasional. Sedangkan menurut PP No. 26
Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang wilayah Nasional, khususnya pasal 51
huruf a dimana Kawasan lindung nasional terdiri atas salah satunya berupa
kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya. Kawasan yang
memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahnya dijabarkan lebih lanjut dalam
pasal 52 ayat (1) yang menyatakan
Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya terdiri
atas:
a. kawasan hutan lindung;
b. kawasan bergambut; dan
c. kawasan resapan air.
Jadi jelas berdasarkan ketentuan beberapa
peraturan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kawasan hutan lindung merupakan
bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan tidak termasuk dalam
kriteria kepentingan umum.
Karena bukan bagian dari kepentingan umum, maka dalam
pengadaan kawasan hutan lindung dimana di dalam hutan tersebut terdapat hak
ulayat masyarakat hukum adat berlaku pasal 2 ayat (2) Perpres No. 65 tahun 2006
yakni, Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli,
tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak
yang bersangkutan. Sebagai pemangku hak, UU Kehutanan mengakui kenyataan
penguasaan hutan oleh masyarakat hukum adat (hutan ulayat, hutan marga). Jadi,
pemerintah tidak bisa serta merta mencabut hak ulayat demi dan atas nama
kawasan hutan lindung apabila masyarakat adat tidak mau menerima tawaran
pemerintah, hal ini dikarenakan hutan lindung bukan merupakan kepentingan umum.
Jadi pengadaan tanah untuk kawasan hutan lindung harus sesuai perjanjian dan
kesepakatan antara pemerintah dengan masyarakat hukum adat.
Perlindungan hukum bagi rakyat pemegang hak ulayat tidak
terlepas dari konsepsi pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945 yang secara tegas negara
mengakui dan memberikan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat
dan hak-hak tradisonalnya.
Prinsip penghormatan
terhadap masyarakat hukum adat dan hak tradisonalnya tersebut mengandung
konsekuensi apabila pemerintah hendak melepaskan hak ulayat masyarakat hukum
adat harus sesuai ketentuan peraturan yang ada. Bentuk penghormatan tersebut
adalah pertama, bahwa konsep pencabutan tidak berlaku bagi pengadaan tanah
untuk penetapan kawasan hutan lindung di atas hak ulayat karena berdasarkan
perpres 65 tahun 2006 hutan lindung bukan merupakan kepentingan umum. Kedua,
dengan tidak berlakunya konsep pencabutan berarti pemerintah tidak dapat serta
merta menghapus hak ulayat masyarakat hukum adat. Ketiga, hak ulayat hanya bisa
dilepaskan jika masyarakat adat menghendaki, dan itupun melalui jual beli,
tukar menukar, atau cara lain yang disepakati kedua pihak, tanpa ada
kesepakatan maka pemerintah tidak bisa memaksakan kehendaknya.
Departemen
Kehutanan dan Perkebunan dalam kebijakan yang akan mengakomodir hak-hak
masyarakat hukum adat harus dapat menterjemahkan hak-hak masyarakat hukum adat
dimana Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah maupun legislatif serta kesatuan
Masyarakat Adat dalam hal ini instansi yang mendapat wewenang mengakui,
membenarkan, dan menerima hak-hak masyarakat adat tersebut.
Hak negara pada ekosistem hutan
adalah hak yang ada setelah hak-hak masyarakat adat dijalankan selama beberapa
puluh bahkan ratus tahun. Hak menguasai negara yang seakan-akan menjadi doktrin
dalam pengaturan sumberdaya alam di Indonesia bukanlah hak yang ada dengan
sendirinya sehingga dapat mengatasi hak-hak masyarakat adat. Hak menguasai
negara adalah hak yang bersumber dari hak-hak masyarakat adat. Meskipun hak
menguasai negara bersumber dari hak-hak masyarakat adat, tidak berarti bahwa
hak-hak masyarakat adat itu lebur seluruhnya ke dalam hak menguasai negara.
Masih ada hak-hak masyarakat adat yang tetap dipegangnya. Hak itu adalah
hak-hak alamiah yang sudah melekat padanya sebelum kehadiran negara. Hak-hak
alamiah itu meliputi hak hidup, hak atas kemerdekaan dan hak milik pribadi.
Negara bertujuan melindungi hak-hak alamiah ini. Jika negara merampas hak-hak
itu maka negara tidak fungsional lagi dan kehilangan legitimasinya.
Demikianlah, maka hak menguasai
negara tidak bisa merampas hak-hak masyarakat adat yang sifatnya alamiah dan
sudah hadir mendahului negara. Satu diantara hak masyarakat adat itu adalah
otoritas mengatur ekosistem hutan. Hak menguasai negara pada dasarnya adalah
otoritas negara untuk melakukan serangkaian tindakan pengaturan pada ekosistem
hutan. Namun, dengan prinsip hubungan negara dan masyarakat adat di atas, maka
hak menguasai negara tidak bisa menghapus otoritas pengaturan dari masyarakat
adat. Hak menguasai negara seharusnya menguatkan otoritas-otoritas masyarakat
adat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar