firmana_putra@rocketmail.com

Jumat, 05 April 2013

PENCABUTAN HAK ULAYAT TERHADAP KAWASAN HUTAN LINDUNG

Pengakuan eksistensi hak ulayat oleh UUPA merupakan hal yang wajar, karena hak ulayat beserta masyarakat hukum adat telah ada sebelum terbentuknya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.Kongres Pemuda tahun 1928 telah menetapkan Sumpah Pemuda yang menyangkut hukum adat, mengeluarkan dasar persatuan Indonesia diperkuat dengan memerhatikan dasar persatuan, kemauan, sejarah, bahasa, hukum adat dan pendidikan, dan kepanduan. Dengan demikian, kita telah mengambil suatu sikap politik tertentu atas hukum adat, termasuk segi idealnya bahwa hukum adatlah kelak menjadi dasar hukum Indonesia.
Secara formal, eksistensi dan pengakuan adanya masyarakat hukum adat dan hak-haknya telah tertuang di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 B ayat (2) yang menyebutkan Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang dan dalam pasal 28 I ayat (3) yang menyebutkan Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) pasal 3 jo. pasal 58 masih mengakui hak ulayat dan hak-hak lainnya sejenis yang tidak bertentangan dan selama belum diatur secara khusus. Dalam pengertian ‘masih ada’ itu seyogyanya tidak ada usaha untuk meniadakan hak tersebut. Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 5 bahwa hukum agraria sekarang adalah hukum adat, maka penentuan hak-hak atas tanah itu didasarkan pula pada sistematik hukum adat.        
Mengenai eksistensi hukum adat dalam hukum agaria, menurut Urip Santoso adalah sebagai berikut:
1) Hukum adat sebagai dasar utama, dan         
2) Hukum adat sebagai hukum pelengkap.          
Dalam hubunganya dengan tanah, menurut alam pikiran hukum adat tertanam keyakinan bahwa setiap kelompok masyarakat hukum adat tersedia suatu lingkungan tanah sebagai peninggalan pemberian dari sesuatu kekuatan gaib sebagai pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya sepanjang zaman. Disinilah sifat religius hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat bersama dengan tanah ulayatnya ini.
            Berdasarkan corak dari masyarakat hukum adat yaitu bersifat religio-magis dan kedudukan tanah adalah hal yang penting bagi masyarakat adat, maka jelas bahwa masyarakat hukum adat dapat dipastikan akan menjaga kelestarian tanah hak ulayatnya, termasuk obyek dari hak ulayat tersebut, yaitu tumbuh-tumbuhan dan segala yang ada di atas maupun yang terkandung di dalam tanah ulayat mereka termasuk hutan.
Hak ulayat bisa dikatakan adalah semacam hak kekuasaan, hak menguasai, bahkan menyerupai semacam kedaulatan suatu persekutuan hukum adat (rechtgemeenschaap) atas suatu wilayah tertentu. Hal ini merupakan serangkaian hak masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah dalam wilayahnya yang merupakan pendukung utama penghidupan masyarakat yang bersangkutan.
Undang-Undang Pokok Agraria dalam pasal 46 mengutarakan bahwa hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dipunyai oleh warga negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Di sini tidak disebut bahwa membuka tanah ulayat harus ada izin dari pemerintah, hanya disebut akan diatur oleh Peraturan Pemerintah.
Dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 67 ayat (1), yang berbunyi: Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, berhak:
1. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dari masyarakat adat yang bersangkutan;
2. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan UU, dan
3. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Dari segi hak asasi manusia yang terelaborasi dengan beberapa peraturan perundanga-undangan dan konstitusi maka tampak bahwa eksistensi masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya termasuk hak ulayat telah diakui keberadannya, sehingga perampasan hak ulayat dan hak-hak lain yang menyerupainya dari masyarakat hukum adat merupakan bentuk pelanggaran konstitusional (inkonstitusi) dan pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam teori ekologi-manusia Hubungan Manusia dengan lingkungannya (sumber daya alamnya) dijelaskan oleh Merchant (1996) sebagai suatu hubungan yang terbagi atas tiga paradigma yang mempunyai dasar pemikiran yang berbeda-beda, yang pada masyarakat adat dan masyarakat pendatang lama yang telah hidup bergenerasi-generasi, melihat bahwa dirinya merupakan bagian dalam lingkungan sehingga intinya merupakan lingkungan itu sendiri. Lingkungan tidak lagi dilihat hanya sebagai sumber daya tetapi dilihat sebagai suatu lingkungan yang terbatas. Nilai dan norma yang berlaku di masyarakat terbentuk berdasarkan pengalaman hidupnya berinteraksi dengan lingkungannya. Paradigma ini disebut Society in Self (Lingkungan di dalam Diri Sendiri).
Fakta empris di lapangan menunjukkan bahwa keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisonalnya justru turut serta menjaga dan melindungi hutan. Hal ini ditunjukkan melalui penelitian yang pernah dilakukan oleh Yayasan Sejati di 4 propinsi (Kalimantan Timur, Maluku, Irian Jaya dan Nusan Tenggara Timur) menunjukkan bahwa walaupun sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain namun secara umum bisa terlihat beberapa prinsip-prinsip kearifan adat yang masih dihormati dan dipraktekkan oleh kelompok kelompok masyarakat adat, yaitu antara lain:
1) masih hidup selaras alam dengan mentaati mekanisme ekosistem di mana manusia merupakan bagian dari ekosistem yang harus dijaga keseimbangannya;
2) adanya hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (comunal tenure/"property" rights) atas suatu kawasan hutan adat masih bersifat eksklusif sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankannya dari kerusakan;
3) adanya sistem pengetahuan dan struktur kelembagaan (pemerintahan) adat yang memberikan kemampuan bagi komunitas untuk memecahkan secarabersama masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan;
4) ada sistem pembagian kerja dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar;
5) ada mekanisme pemerataan distribusi hasil "panen" sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah masyarakat.
Kearifan adat yang sangat beragam ini masih mendominasi sistem pengelolaan hutan di seluruh pelosok nusantara.Masyarakat adat yang belum banyak diintervensi oleh kebijakan pemerintah yang sifatnya eksploitatif, masih mengelola hutan adatnya dengan otonom untuk menjamin keberlangsungan kehidupan mereka sehari-hari. Penguasa adatpun berwenang untuk menunjuk hutan-hutan tertentu sebagai hutan cadangan yang tidak boleh dibuka oleh siapapun. Ia berwenang pula menunjuk tanah-tanah tertentu untuk dipakai guna keperluan umum atau keperluan bersama, misalnya untuk kuburan, tempat penggembalan, masjid, dan lain-lainnya. Masing-masing itu mempunyai hukumnya yang khusus.
Urgensi adanya pencabutan hak ulayat dalam kawasan hutan lindung tidak terlepas dari ketentuan konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Pasal 2 UUPA yang merupakan aturan pelaksanaan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menjelaskan pengertian hak menguasai sumber daya alam oleh Negara. Pengertian dikuasai oleh Negara bukan berarti dimiliki, melainkan hak yang memberi wewenang kepada Negara untuk menguasai seperti hal tersebut diatas. Isi wewenang Negara yang bersumber pada hak menguasai Sumber Daya Alam oleh Negara tersebut semata-mata bersifat publik yaitu, wewenang untuk mengatur (wewenang regulasi) dan bukan menguasai tanah secara fisik dan menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang bersifat pribadi. Ini semua sejalan dengan GBHN 1999-2004 dalam aspek pertanahan yang mengatakan secara tegas; …Dikembangkan kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penggunanan tanah secara adil, transparan dan produktif dan mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat dan masyarakat adat, serta berdasarkan tata ruang wilayah seimbang.
Pengambilalihan hak ulayat tanpa persetujuan masyarakat adat merupakan bentuk dari pelanggaran Hak Asasi Manusia, hal ini tertuang dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagaimana terdapat dalam Pasal 6 yang berbunyi: “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Perpres 65 tahun 2006 menyatakan Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Sedangkan, kriteria yang termasuk Kepentingan umum adalah sesuai dengan Pasal 5 yang menyatakan Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi :
  1.  jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
  2.  waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
  3.  pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api ,dan terminal;
  4.  fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
  5.  tempat pembuangan sampah;
  6.  cagar alam dan cagar budaya;
  7.  pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
Jika dikaji mengenai kawasan hutan lindung berkaitan dengan kriteria kepentingan umum maka sejatinya kawasan hutan lindung bukan merupakan bagian dari aspek kepentingan umum, karena ketentuan pasal 5 Perpres 65 tahun 2006 bersifat limitatif sehingga tidak terbuka penafsiran lain selain yang disebut dalam peraturan tersebut. Kita perlu mencermati pula ketentuan dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Dimana hutan lindung berdasarkan pasal 1 angka 8 adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pada pasal 1 angka 21 menyatakan bahwa Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam dan sumber daya buatan dalam pasal 20 ayat (1) huruf c menyebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat rencana pola ruang wilayah nasional yang meliputi kawasan lindung nasional dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional. Sehingga dari ketentuan tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa hutan lindung merupakan bagian dari kawasan lindung yang merupakan bagian dari rencana tata ruang wilayah nasional. Sedangkan menurut PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang wilayah Nasional, khususnya pasal 51 huruf a dimana Kawasan lindung nasional terdiri atas salah satunya berupa kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahnya dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 52 ayat (1) yang menyatakan  Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya terdiri atas:
a. kawasan hutan lindung;
b. kawasan bergambut; dan
c. kawasan resapan air.
Jadi jelas berdasarkan ketentuan beberapa peraturan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kawasan hutan lindung merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan tidak termasuk dalam kriteria kepentingan umum.
            Karena bukan bagian dari kepentingan umum, maka dalam pengadaan kawasan hutan lindung dimana di dalam hutan tersebut terdapat hak ulayat masyarakat hukum adat berlaku pasal 2 ayat (2) Perpres No. 65 tahun 2006 yakni, Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Sebagai pemangku hak, UU Kehutanan mengakui kenyataan penguasaan hutan oleh masyarakat hukum adat (hutan ulayat, hutan marga). Jadi, pemerintah tidak bisa serta merta mencabut hak ulayat demi dan atas nama kawasan hutan lindung apabila masyarakat adat tidak mau menerima tawaran pemerintah, hal ini dikarenakan hutan lindung bukan merupakan kepentingan umum. Jadi pengadaan tanah untuk kawasan hutan lindung harus sesuai perjanjian dan kesepakatan antara pemerintah dengan masyarakat hukum adat.
            Perlindungan hukum bagi rakyat pemegang hak ulayat tidak terlepas dari konsepsi pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945 yang secara tegas negara mengakui dan memberikan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisonalnya.
Prinsip penghormatan terhadap masyarakat hukum adat dan hak tradisonalnya tersebut mengandung konsekuensi apabila pemerintah hendak melepaskan hak ulayat masyarakat hukum adat harus sesuai ketentuan peraturan yang ada. Bentuk penghormatan tersebut adalah pertama, bahwa konsep pencabutan tidak berlaku bagi pengadaan tanah untuk penetapan kawasan hutan lindung di atas hak ulayat karena berdasarkan perpres 65 tahun 2006 hutan lindung bukan merupakan kepentingan umum. Kedua, dengan tidak berlakunya konsep pencabutan berarti pemerintah tidak dapat serta merta menghapus hak ulayat masyarakat hukum adat. Ketiga, hak ulayat hanya bisa dilepaskan jika masyarakat adat menghendaki, dan itupun melalui jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati kedua pihak, tanpa ada kesepakatan maka pemerintah tidak bisa memaksakan kehendaknya.
            Departemen Kehutanan dan Perkebunan dalam kebijakan yang akan mengakomodir hak-hak masyarakat hukum adat harus dapat menterjemahkan hak-hak masyarakat hukum adat dimana Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah maupun legislatif serta kesatuan Masyarakat Adat dalam hal ini instansi yang mendapat wewenang mengakui, membenarkan, dan menerima hak-hak masyarakat adat tersebut.
Hak negara pada ekosistem hutan adalah hak yang ada setelah hak-hak masyarakat adat dijalankan selama beberapa puluh bahkan ratus tahun. Hak menguasai negara yang seakan-akan menjadi doktrin dalam pengaturan sumberdaya alam di Indonesia bukanlah hak yang ada dengan sendirinya sehingga dapat mengatasi hak-hak masyarakat adat. Hak menguasai negara adalah hak yang bersumber dari hak-hak masyarakat adat. Meskipun hak menguasai negara bersumber dari hak-hak masyarakat adat, tidak berarti bahwa hak-hak masyarakat adat itu lebur seluruhnya ke dalam hak menguasai negara. Masih ada hak-hak masyarakat adat yang tetap dipegangnya. Hak itu adalah hak-hak alamiah yang sudah melekat padanya sebelum kehadiran negara. Hak-hak alamiah itu meliputi hak hidup, hak atas kemerdekaan dan hak milik pribadi. Negara bertujuan melindungi hak-hak alamiah ini. Jika negara merampas hak-hak itu maka negara tidak fungsional lagi dan kehilangan legitimasinya.
Demikianlah, maka hak menguasai negara tidak bisa merampas hak-hak masyarakat adat yang sifatnya alamiah dan sudah hadir mendahului negara. Satu diantara hak masyarakat adat itu adalah otoritas mengatur ekosistem hutan. Hak menguasai negara pada dasarnya adalah otoritas negara untuk melakukan serangkaian tindakan pengaturan pada ekosistem hutan. Namun, dengan prinsip hubungan negara dan masyarakat adat di atas, maka hak menguasai negara tidak bisa menghapus otoritas pengaturan dari masyarakat adat. Hak menguasai negara seharusnya menguatkan otoritas-otoritas masyarakat adat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Design By:
SkinCorner