Oleh Firmana Putra
Manusia
tetap bisa mempergunakan dan memanfaatkan alam untuk tujuan hidupnya dengan
cara menjadi bagian dari alam itu sendiri seakan-akan masuk kedalam
proses-proses alam. Rasa memiliki sumberdaya alam di Bumi ini dapat dilakukan
dengan cara melakukan pengolaan sumber daya alam secara tepat dan lestari, demi
mewujudkan pembangunan secara berkelanjutan. Hutan yang memiliki sumber daya
alam yang melimpah terkadang salah dalam pengelolaannya.
Hutan
merupakan sebuah kawasan yang mana banyak ditumbuhi oleh pepohonan dan tumbuhan
lainnya. Menurut Wikipedia, Hutan merupakan
suatu kumpulan tumbuhan dan juga tanaman, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas. Berapa banyak flora fauna yang menggantungkan diri kepada kelestarian hutan ini, mulai dari serangga, tanaman obat, hutan sialang, lebah, semut, cacing, Beruk, burung2, dan masih banyak lagi yang menggantungkan diri kepada hutan ini tak terkecuali manusia.
suatu kumpulan tumbuhan dan juga tanaman, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas. Berapa banyak flora fauna yang menggantungkan diri kepada kelestarian hutan ini, mulai dari serangga, tanaman obat, hutan sialang, lebah, semut, cacing, Beruk, burung2, dan masih banyak lagi yang menggantungkan diri kepada hutan ini tak terkecuali manusia.
Ada
yang menjadi focus perhatian terhadap ekosistem hutan ini, dilihat dari tahun
ke tahun, luas hutan Indonesia terus menciut, sebagaimana, Luas Penetapan
Kawasan Hutan yang diperlihatkan oleh Departemen Kehutanan Tahun Luas (Hektar)
1950 162,0 juta, tahun 1992 118,7 juta, tahun 2003 110,0 juta, dan tahun 2005
93,92 juta.
Berdasarkan
hasil penafsiran citra satelit, Kawasan Hutan Indonesia yang mencapai 93,92
juta ha pada tahun 2005 itu dapat dirinci pemanfaatanya sebagai berikut; Hutan
tetap 88,27 juta ha, Hutan konservasi 15,37 juta ha, Hutan lindung 22,10 juta
ha, Hutan produksi terbatas 18,18 juta ha, Hutan produksi tetap 20,62 juta ha,
Hutan produksi yang dapat dikonversi 10,69 juta ha, dan Areal penggunaan lain
(non-kawasan hutan) 7,96 juta ha. Sementara lahan hutan terluas ada di Papua
(32,36 juta ha), diikuti berturut-turut oleh Kalimantan ( 28,23 juta ha),
Sumatera (14,65 juta ha), Sulawesi (8,87 juta ha), Maluku dan Maluku Utara (
4,02 juta ha), Jawa (3,09 juta ha), serta Bali dan Nusa Tenggara ( 2,7 juta
ha).
Hutan
dengan keaneka ragaman ( biodiversity) vegetasinya menyimpan air selama musim
hujan dan melepaskannya pada musim kemarau, jika luas hutan berkurang, laju
resapan air kedalam tanah menurun, laju larian air naik dan bahaya banjir
semakin meningkat, dalam hal ini bertambahnya air karena berkurangnya luas
hutan sangatlah merugikan. (Soemarwoto: 2001)
Buruknya
Pengelolaan
Pengelolaan
sebuah ekosistem Hutan harus di tangani dengan baik dan penuh tanggung jawab.
Memperhatikan hutan sama dengan kita memperhatikan berjuta spesis flora, fauna
dan umat manusia yang mengantungkan diri kepadanya. Pengelolaan yang baik dan
lestari tentunya akan mengahasilkan yang baik pula untuk sebuah kehidupan yang
berkelanjutan. Tapi semua itu tampaknya jauh dari harapan kita, banyak
kecurangan, penindasan dan politisasi kehutanan sehingga berdampak kepada
manusia itu sendiri.
Sejak
tahun 1967 sampai tahun 2002 kebijakan pembangunan kehutanan tidak mampu
memperbaiki kinerja pengelolaan hutan. Dalam dua puluh tahun terakhir, hutan
alam Indonesia sebagai modal alam ( natural capital) telah kehilangan lebih
dari 50 % potensinya. Hal ini terlihat dari menurunnya target produksi kayu
bulat nasional dari 37 juta m3 pertahun pada awal tahun 1980-an menjadi sebesar
22 juta m3 pada akhir tahun 2000.
Dinas
Kehutanan Riau menyebutkan pada tahun 2001, dengan 350 lebih perusahaan, setiap
tahunnya Industri Kayu Riau membutuhkan 14,7 meter3 kubik kayu, sedangkan
kemampuan hutan alam dan Hutan Tanaman Industri (HTI) dalam menyuplai kayu
secara lestari hanya berkisar 7,7 meter kubik kayu pertahun, ada selisih
sebesar 7 juta meter kubik yang tidak mampu dipenuhi oleh hutan alam dan hutan
tanaman industri (HTI). Ironisnya pada tahun 2002, Dinas Kehutanan Riau
mengeluarkan izin IPK sebanyak 112 1zin untuk melakukan pembalakan diatas hutan
seluas 50.000 ha lebih. Kepala Dinas Kehutanan Riau periode 2004-2005, Asral
Racman mengeluarkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman
(IUPHHKHT) kepada perusahaan di Pelalawan dan Siak. Tengku Muhammad Jaafar
mengeluarkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHKHT)
ketika menjabat Bupati Pelalawan periode 2004-2006 untuk 15 Perusahaan di
Kabupaten Pelalawan. Arwin as, dengan kasus yang sama memberikan Izin kepada
beberapa perusahaan dalam pengelolaan hutan ketika menjabat sebagai Bupati Siak
periode 2001-2003. Begitu juga dengan dua mantan Kadis Kehutanan Riau Suhada
Tasman, dan Burhanuddin.
Banyaknya
Pejabat dan Kepala Dinas yang mengeluarkan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Hasil
Hutan Kayu hutan Tanaman (IUPHHKHT) itu menunjukkan bahwa bobroknya pengelolaan
hutan di riau ini, tidak adanya pejabat pemerintah yang taat kepada UU,
terutama undang-undang yang berkaitan dengan kehutanan, walau pun sebenarnya
para pejabat public tersebut tahu apa yang mereka perbuat itu sudah melanggar
Undang-undang, apakah sebenarnya maksud dari pemberian izin secara berlebihan
tersebut, ataukah hanya karena mengedepankan kepentingan individu dan Golongan.
Sementara yang berhak mengeluarkan izin tersebut adalah mentri kehutanan
(menhut) bukan Gubernur, ataupun Bupati.
Berdasarkan
PP Nomor 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengolahan
Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan hanya mentri yang
berwenang mengeluarkan izin, seperti Gubernur, Bupati dan Walikota hanya boleh
merekomendasikan, bukan memberikan izin.
undang-undang
no 41 tahun 1998 tentang kehutanan tidak diperbolehkan melakukan aktivitas
apapun diatasnya. Data dari Wahana Lingkungan hidup Indonesia (Walhi) Riau;
terdapat 13 juta ha total lahan yang dikeluarkan izin pengelolaannya oleh
pemerintah di Riau, sementara luas daerah di provinsi Riau ini hanya 9,1 juta
ha, artinya ada kelebihan izin pengelolaan di Riau. Dan hal itu melanggar
Kepres No 32 tahun 1990 tentang perlindungan lahan gambut. Berarti hampir
seluruh izin yang dikeluarkan menyalahi aturan perundang-undangan PP Nomor 34
tahun 2002 tersebut, beserta kerusakan kawasan hutan lindung yang mencapai
492,231 ha atau 58,03%.
Dari
kerusakan alam yang berkepanjangan seperti ini yang juga akibat dari kebijakan
pemerintah, juga akan berimbas kepada sungai, dimana pencemaran sungai selama
ini terjadi, menurunkan hasil tangkapan ikan, sehingga memaksa peralihan
matapencaharian nelayan menjadi penebang atau pekerja kayu, sebenarnya 64%
masyarakat di Riau yang tinggal di dekat sumber daya alam pada kategori miskin.
Dan dari 647 konflik yang terjadi di tahun 1998 sampai tahun 2003 hampir 78%
diantarannya disebabkan perebutan lahan antara Masyarakat dengan Perusahaan,
kekerasan dan pelanggaran terjadi, sahingga tidak dapat dielakkan karena metode
penyelesaian masalah yang buruk.
Praktek
Pembakaran
Dengan
iklim yang cukup ektrim di kota Pekanbaru ini, menjadi rujukan dan alasan pihak
pengusaha dalam membabat hutan yang masih tersisa. Pihak pengusaha seolah-olah
tidak melakukan kesengajaan ketika terjadi kebakaran, ironisnya kebakaran
tersebut berasal dari kawasan perusahaan dan menjalar luas dan api dibiarkan
begitu saja.
Pemerintah
melakukan poitik konversi dengan memberikan peluang yang sangat besar terhadap
pengusaha untuk melakukan konversi hutan menjadi perkebunan monokultur sekala
besar seperti perkebunan kelapa sawit maupun Hutan Tanaman Industri (HTI). Di
dasarkan kepada kebutuhan dunia, ambisi pemerintah dan nafsu pengusaha untuk
memperoleh keuntungan dalam waktu singkat dan dalam biaya produksi murah, land
sclearing dengan metode pembakaran pun dipraktekkan.
Data
dari satelit Noa 18 terpantau ada sedikitnya 53 titik api. Data ini menunjukkan
ada peningkatan yang cukup signifikan. Titik api (Hotspot) itu ditemukan di 11
kabupaten dan kota di Riau. Kebakaran terbanyak di temukan di kabupaten
Indragiri Hilir yakni sebanyak 17 titik. Kemudian disusl oleh Kabupaten
Bengkalis dan Siak, masing-masing sembilan dan tujuh titik api. Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengataka : sebanyak 53 titk api
itu memang merupakan yang terbanyak di Riau selama hampir tiga pekan.
Sejak
tahun 1995 an, industri kayu dan perkebunan mulai menggeliat dan memperaktekkan
budaya tebang, limas dan bakar, yang akhirnya menjadi ritme keseharian industri
kehutanan di Riau, disamping bonus banjir minimal satu tahun sekali sejak tahun
2001, asap juga menjadi menu tahunan masyarakat di Riau, yang mengakibatkan
banyak dampak yang di dapat, asap yang ditimbulkan menyebabkan turunnya tingkat
kesehatan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung, yang paling
mengkhawatirkan bukan hanya untuk orang dewasa kabut asap dari kebakaran hutan
itu juga akan dirasakan oleh anak-anak balita dibawah umur lima tahun dan
lansial (lanjut usia) itu dikarenakan sistem metabolisme pada kedua golongan
usia ini tidak mencapai optimal, dan apabila kebakaran sudah terjadi maka akan
terlihat asap menyelimuti kota Pekanbaru ini.
Dampak
langsung dari terhirupnya asap akibat kebakaran hutan adalah infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA). Selain itu kabut asap yang disebabkan kebakaran hutan
tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat tetapi juga menghambat aktifitas
warga, seperti mengganggu penerbangan. Kebakaran hutan atau lahan yang berimbas
kepada Bencana Ekologi Kabut Asap merupakan Potret buruknya pengelolaan hutan
di Riau khususnya dan Indonesia secara umumnya
Buruknya
pengelolaan hutan di Riau yang sampai kepada metode pembakaranpun dipraktekkan,
Ini membuktikan lemahnya penegakkan hukum di riau terhadap pelaku pembakaran.
Walaupun bukti-bukti sudah menunjukkan bahwa kegiatan Land Clearing menjadi
penyebab utama terjadinya kebakaran hutan, namun pemerintah hanya tinggal diam
walaupun mereka mengetahui dan Cuma bias bilang “ Nanti Kita Tindak Tegas” itu
merupakan pemanis bibir saja, tampa ada tindakan yang konkrit, nah itu yang
menjadi kendala dari pada bangsa ini. Belum diterapkannya prinsip-prinsip Good
governance dalam pelayanan public terutama dalam pelayanan perpetaan,
konfirmasi areal kerja IUPHHK; penerbitan 79 izin usaha pemanfaatan hasil hutan
kayu (IUPHHK) Hutan Alam atau tanaman di luar peruntukkannya menurut tata Guna
Hutan, Kesepakatan Provinsi Riau dengan total luas kawasan yang dilanggar
mencapai 3,7 juta ha terutama di kawasan hutan konservasi yang tidak tercegah,
akibat kurangnya intensitas pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan.
Kerusakan
hutan di negeri ini sudah sangat memprihatinkan, perlu adanya kerjasama yang
baik antara pemerintah dan masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal
disekitar hutan, libatkan mereka dalam pengelolaan dan pelestarian hutan.
Sebenarnya di satu sisi masyarakat sangat bergantung dengan pemanfaatan hutan
tersebut dan disisi lain pemerintah dengan kewenangannya mengeksploitasi hutan
ini tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Maka dari itu pemerintah juga
harus melibatkan masyarakat dalam mengelola hutan dan pemanfaatannya. Demi
terjalinnya hubungan yang harmonis antara pemerintah dan masyarakat dalam hal
kerjasama dalam meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat di Riau ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar