firmana_putra@rocketmail.com

Jumat, 05 April 2013

HUTAN LINDUNG BAGIAN DARI RENCANA TATA RUANG NASIONAL

LATAR BELAKANG
          “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal ini mengamanatkan kepada pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk dapat mengelola bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dengan sebaik-baiknya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
          Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Alinea IV telah jelas disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Artinya, seluruh tindakan negara dalam hal ini oleh pemerintah harus difokuskan pada sebesar-besar kemakmuran rakyat, utamanya yang berkenaan dengan SDA. Hal itu sebagaimana tertuang dalam pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 : Tujuan negara yang lain sesuai dengan pembukaan UUD NRI 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dari sini jelas bahwa bangsa Indonesia menghormati seluruh tumpah darahnya yakni segala entitas individu dan kelompok yang ada dan membentuk bangsa Indonesia. Dapat dikatakan bahwa tujuan terakhir setiap negara ialah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicu, common good, common weal). Roger H. Soltau mengatakan tujuan negara ialah memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin. Sedangkan menurut Harold J. Laski, tujuan negara adalah menciptakan keadaan dimana rakyatnya dapat mencapai terkabulnya keinginan-keinginan secara maksimal, tujuan negara untuk memakmurkan dan mensejahterakan rakyatnya tersebut tidak terlepas juga dengan tujuan negara yang lain yakni dengan cara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

          Konsep kesejahteraan rakyat tersebut juga berlaku pada hutan, hutan sebagai sumber daya alam harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seperti dimanatkan dalam pasal 33 UUD 1945. Dasar hukum pemanfaatan hutan tersebut di Indonesia bertumpu pada makna pasal 33 ayat 3 yang ditujukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan – ketentuan Pokok Kehutanan bermaksud menerapkan tujuan tersebut melalui pendekatan timber management tetapi tidak mengakomodir suatu pola pengelolaan yang bersifat menyeluruh dalam forest management atau ecosystem management yang mengakomodasi-juga aspek sosial budaya maupun ekonomi dan kelestarian lingkungan yang berkelanjutan.
          Mengenai pertanahan sebelum lahirnya hukum agraria kolonial di Indonesia telah berlaku sistem hukum adat, hukum barat, dan hukum tanah swapraja. Kebutuhan hukum agraia yang menjamin kepastian dan perlindungan hukum hak-hak masyarakat dirasakan sangat mendesak dan sejak 24 September 1960 ditetapkan UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau sering disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang ini lahir setelah melaui proses yang cukup lama, menganut unifikasi hukum dan berdasarkan hukum adat. Menurut Boedi Harsono, hukum adat dijadikan sumber utama dan dijadikan sumber aspiratif, dalam arti jika sesuatu hal belum diatur dalam peraturan maka berlaku hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA.
          Tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dikenal dengan hak ulayat. Eksistensi dan pengakuan adanya masyarakat hukum adat dan hak-haknya telah tertuang di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 B ayat (2) yang menyebutkan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” dan dalam pasal 28 I ayat (3) yang menyebutkan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) pasal 3 jo. pasal 58 masih mengakui hak ulayat dan hak-hak lainnya sejenis yang tidak bertentangan dan selama belum diatur secara khusus. Sedangakan dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutan tidak secara rinci mengatur keberadaan hak ulayat, UU kehutanan hanya mengatur mengenai keberadaan hutan adat dan masyarakat hukum adat dan rumusan mengenai  hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
          Hak ulayat adalah suatu sifat komunaltistik yang menunjuk adanya hak bersama oleh para anggota masyarakat hukum adat atas suatu tanah tertentu. Dalam pelaksanaannya, kelompok tersebut bisa merupakan masyarakat hukum adat yang teritorial (Desa, Marga magari, hutan) bisa juga merupakan masyarakat hukum adat geneologik atau keluarga, seperti suku. Hak Ulayat  disebut juga sebagai hak purba (Djojodigoeno) atau hak pertuanan (Soepomo) yaitu hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum adat (sehingga sifatnya merupakan hak bersama) untuk menguasai seluruh tanah beserta segala isinya dalam lingkungan wilayah persekutuan tersebut dan merupakan hak atas tanah yang tertinggi dalam hukum adat.
          Berkaitan dengan hutan, khususnya konsep mengenai hutan lindung maka kita tidak bisa terlepas dari ketentuan yang ada dalam UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dimana hutan lindung berdasarkan pasal 1 angka 8 UU No. 41 Tahun 1999 “Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.”. Sedangkan dalam pasal 20 ayat (1) huruf c UU No. 26 Tahun 2007 menyebutkan bahwa “Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat rencana pola ruang wilayah nasional yang meliputi kawasan lindung nasional dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional” dan mengenai maksud dari kawasan lindung dapat dilihat pasal 1angka 21 UU No. 26 Tahun 2007 “Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan”. Sehingga dari ketentuan tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa hutan lindung merupakan bagian dari kawasan lindung yang merupakan bagian dari rencana tata ruang wilayah nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Design By:
SkinCorner