“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal
ini mengamanatkan kepada pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk dapat
mengelola bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dengan
sebaik-baiknya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Alinea IV telah jelas
disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya negara Indonesia adalah untuk
memajukan kesejahteraan umum. Artinya, seluruh tindakan negara dalam hal ini
oleh pemerintah harus difokuskan pada sebesar-besar kemakmuran rakyat, utamanya
yang berkenaan dengan SDA. Hal itu sebagaimana tertuang dalam pasal 33 ayat (3)
UUD NRI 1945 : Tujuan negara yang lain
sesuai dengan pembukaan UUD NRI 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, dari sini jelas bahwa bangsa Indonesia
menghormati seluruh tumpah darahnya yakni segala entitas individu dan kelompok
yang ada dan membentuk bangsa Indonesia. Dapat dikatakan bahwa tujuan terakhir
setiap negara ialah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicu,
common good, common weal). Roger H. Soltau mengatakan tujuan
negara ialah memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya
ciptanya sebebas mungkin. Sedangkan menurut Harold J. Laski,
tujuan negara adalah menciptakan keadaan dimana rakyatnya dapat mencapai
terkabulnya keinginan-keinginan secara maksimal, tujuan negara untuk
memakmurkan dan mensejahterakan rakyatnya tersebut tidak terlepas juga dengan
tujuan negara yang lain yakni dengan cara melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Konsep kesejahteraan
rakyat tersebut juga berlaku pada hutan, hutan sebagai sumber daya alam harus
dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seperti dimanatkan dalam
pasal 33 UUD 1945. Dasar hukum pemanfaatan hutan tersebut di Indonesia bertumpu
pada makna pasal 33 ayat 3 yang ditujukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan – ketentuan Pokok Kehutanan
bermaksud menerapkan tujuan tersebut melalui pendekatan timber management tetapi
tidak mengakomodir suatu pola pengelolaan yang bersifat menyeluruh dalam forest
management atau ecosystem management yang
mengakomodasi-juga aspek sosial budaya maupun ekonomi dan kelestarian
lingkungan yang berkelanjutan.
Mengenai pertanahan
sebelum lahirnya hukum agraria kolonial di Indonesia telah berlaku sistem hukum
adat, hukum barat, dan hukum tanah swapraja. Kebutuhan hukum agraia yang
menjamin kepastian dan perlindungan hukum hak-hak masyarakat dirasakan sangat
mendesak dan sejak 24 September 1960 ditetapkan UU No.5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau sering disebut Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA). Undang-undang ini lahir setelah melaui proses yang cukup lama,
menganut unifikasi hukum dan berdasarkan hukum adat. Menurut Boedi Harsono,
hukum adat dijadikan sumber utama dan dijadikan sumber aspiratif, dalam arti
jika sesuatu hal belum diatur dalam peraturan maka berlaku hukum adat sepanjang
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA.
Tanah-tanah yang
dikuasai oleh masyarakat hukum adat dikenal dengan hak ulayat. Eksistensi dan
pengakuan adanya masyarakat hukum adat dan hak-haknya telah tertuang di dalam
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 B ayat (2) yang menyebutkan “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang” dan dalam pasal 28 I ayat (3) yang menyebutkan “Identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban”. Dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) pasal 3 jo. pasal 58 masih mengakui
hak ulayat dan hak-hak lainnya sejenis yang tidak bertentangan dan selama belum
diatur secara khusus. Sedangakan dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutan tidak secara rinci mengatur keberadaan hak ulayat, UU kehutanan hanya
mengatur mengenai keberadaan hutan adat dan masyarakat hukum adat dan rumusan
mengenai hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat.
Hak ulayat adalah suatu
sifat komunaltistik yang menunjuk adanya hak bersama oleh para anggota
masyarakat hukum adat atas suatu tanah tertentu. Dalam pelaksanaannya,
kelompok tersebut bisa merupakan masyarakat hukum adat yang teritorial (Desa,
Marga magari, hutan) bisa juga merupakan masyarakat hukum adat geneologik atau
keluarga, seperti suku. Hak Ulayat disebut juga sebagai hak purba
(Djojodigoeno) atau hak pertuanan (Soepomo) yaitu hak yang dimiliki oleh suatu
persekutuan hukum adat (sehingga sifatnya merupakan hak bersama) untuk
menguasai seluruh tanah beserta segala isinya dalam lingkungan wilayah
persekutuan tersebut dan merupakan hak atas tanah yang tertinggi dalam hukum
adat.
Berkaitan dengan hutan,
khususnya konsep mengenai hutan lindung maka kita tidak bisa terlepas dari
ketentuan yang ada dalam UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No.26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dimana hutan lindung berdasarkan pasal 1
angka 8 UU No. 41 Tahun 1999 “Hutan lindung adalah kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk
mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air
laut, dan memelihara kesuburan tanah.”. Sedangkan dalam pasal 20 ayat (1)
huruf c UU No. 26 Tahun 2007 menyebutkan bahwa “Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional memuat rencana pola ruang wilayah nasional yang meliputi kawasan
lindung nasional dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional”
dan mengenai maksud dari kawasan lindung dapat dilihat pasal 1angka 21 UU No.
26 Tahun 2007 “Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi
utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam
dan sumber daya buatan”. Sehingga dari ketentuan tersebut dapat kita tarik
kesimpulan bahwa hutan lindung merupakan bagian dari kawasan lindung yang
merupakan bagian dari rencana tata ruang wilayah nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar