firmana_putra@rocketmail.com

Rabu, 16 Januari 2013

Sebatas Tatapan Hampa


“Air Terdampar Di Kampoeng Hutan”   
Basah warna rindu, hujan waktu yang menanam
benih sungai di kampoeng hutan, kaki rumah
yang tenggelam. Inikah suara amuk musim yang
tumbuh mengakar, mengelilingi kampoeng hutan.

Kala itu, Ku dengar suara angin yang hening,
suara ikan bergeming, menyatu pada ketulusan
sang surya yang bening, menyibak suara
halilintar yang menggelegar, suara daun-daunan
berbisik berjabat tangan tanda kasih yang terusik.

Tertegun layu, cucuran air mata menganak sungai,
manusia serakah perusak ciptaan yang kuasa,
jus beruk meranti ala Elviriadi kini merambah
ke kampoeng hutan, kecemasan menggetarkan
dada, meninggikan  grafik prasangka kelam.

Terbangun diantara pepohonan, mereka
menyambut sapa entah untuk siapa. Tangan Ku?
Sebatas tatapan ini, garis wajah kita adalah anak
sungai pembatas yang dimataku demikian keruh.

Serupa rumput liar, kita terbias dari
telingkah angin yang menampar, sementara
setiap rinyai hujan yang membekaskan
luka memar diatas sepetak dada yang
terus berdebar, kabar tentang harapan
hanya tinggal timbunan air yang terdampar 
di kampoeng Hutan  


 Terinspirasi dari kondisi Hutan Wisata Buluhcina yang habis ditebang oleh oknum yang tak peduli akan lingkungan dan nasib regenerasi berikutnya, cemas akan hilangnya peran dan fungsi hutan, dan banjir adalah bentuk nyata dari prilaku itu (ketika mincing di Danau Pinang, 13 January 2013) 

1 komentar:

 

Design By:
SkinCorner