“Air
Terdampar Di Kampoeng Hutan”
Basah
warna rindu, hujan waktu yang menanam
benih
sungai di kampoeng hutan, kaki rumah
yang
tenggelam. Inikah suara amuk musim yang
tumbuh
mengakar, mengelilingi kampoeng hutan.
Kala
itu, Ku dengar suara angin yang hening,
suara
ikan bergeming, menyatu pada ketulusan
sang
surya yang bening, menyibak suara
halilintar
yang menggelegar, suara daun-daunan
berbisik
berjabat tangan tanda kasih yang terusik.
Tertegun
layu, cucuran air mata menganak sungai,
manusia
serakah perusak ciptaan yang kuasa,
jus
beruk meranti ala Elviriadi kini merambah
ke
kampoeng hutan, kecemasan menggetarkan
dada,
meninggikan grafik prasangka kelam.
Terbangun
diantara pepohonan, mereka
menyambut
sapa entah untuk siapa. Tangan Ku?
Sebatas
tatapan ini, garis wajah kita adalah anak
sungai
pembatas yang dimataku demikian keruh.
Serupa
rumput liar, kita terbias dari
telingkah angin yang menampar,
sementara
setiap
rinyai hujan yang membekaskan
luka
memar diatas sepetak dada yang
terus
berdebar, kabar tentang harapan
hanya
tinggal timbunan air yang terdampar
di kampoeng Hutan
Terinspirasi dari kondisi Hutan Wisata Buluhcina yang habis ditebang oleh
oknum yang tak peduli akan lingkungan dan nasib regenerasi berikutnya, cemas
akan hilangnya peran dan fungsi hutan, dan banjir adalah bentuk nyata dari
prilaku itu (ketika
mincing di Danau Pinang, 13 January 2013)
kasih komentar doank,,byar Lebih sempurna,,buat yang akan datang!!
BalasHapus