DILEMA “HAK ULAYAT” DAN “KEPENTINGAN UMUM”
(Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional)
(Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional)
Konsep pelepasan hak atas tanah
tetuang dalam Perpres No. 36 Tahun 2005 sebagaimana diubah dengan Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum. Selain itu berkenaan dengan konsep Kawasan Hutan Lindung kita
perlu mencermati pula ketentuan dalam Undang-Undang
No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang No. 26 Tahun
2007 tentang
Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah No. 26
Tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Urgensi adanya pelepasan hak ulayat dalam kawasan hutan lindung tidak terlepas dari ketentuan konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Urgensi adanya pelepasan hak ulayat dalam kawasan hutan lindung tidak terlepas dari ketentuan konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Pasal 2 UUPA yang merupakan aturan
pelaksanaan pasal 33
ayat 3 UUD 1945
dijelaskan pengertian hak menguasai sumber daya alam oleh Negara sebagai
berikut :
1.
Atas dasar ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang
dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
2.
Hak menguasai Negara tersebut dalam ayat 1 pasal ini memberikan
wewenang untuk:
a.
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b.
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
c.
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
3. Wewenang yang bersumber pada
hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal 33, digunakan untuk mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan kesejahteraan,
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat
adil dan makmur.
4. Hak menguasai dari Negara
tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah, swasta
dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan yang
berlaku.
Berdasar pasal 2 UUPA dan penjelasannya tersebut,
menurut konsep UUPA, pengertian “dikuasai” oleh Negara bukan berarti
“dimiliki”, melainkan hak yang memberi wewenang kepada Negara untuk menguasai
seperti hal tersebut diatas. Isi wewenang Negara yang bersumber pada hak
menguasai SDA oleh Negara tersebut semata-mata bersifat publik yaitu, wewenang
untuk mengatur (wewenang regulasi) dan bukan menguasai tanah secara fisik dan
menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang
“bersifat pribadi”.
Hubungan hukum antara Negara
dengan tanah melahirkan hak menguasai tanah oleh Negara, hubungan antara
masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya melahirkan hak ulayat, dan
gabungan antara perorangan dengan tanah melahirkan hak-hak perorangan atas
tanah. idealnya hubungan ketiga hak tersebut (hak menguasai tanah oleh Negara,
hak ulayat dan hak perorangan atas tanah) terjalin secara harmonis dan seimbang.
Artinya, ketiga hak itu sama kedudukan dan kekuatannya, dan tidak saling
merugikan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Perpres 65 tahun 2006 menyatakan “Pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.”
Sedangkan kriteria yang termasuk Kepentingan umum adalah sesuai dengan Pasal 5 yang menyatakan “Pembangunan untuk kepentingan umum yang
dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang selanjutnya dimiliki
atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi :
a. jalan umum dan jalan tol, rel
kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di
b. ruang bawah tanah), saluran
air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
c. waduk, bendungan, bendungan
irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
d. pelabuhan, bandar udara,
stasiun kereta api ,dan terminal;
e. fasilitas keselamatan umum,
seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
f. tempat pembuangan sampah;
g. cagar alam dan cagar budaya;
h. pembangkit, transmisi,
distribusi tenaga listrik”.
Jika dikaji mengenai kawasan
hutan lindung berkaitan dengan kriteria kepentingan umum maka sejatinya kawasan
hutan lindung bukan merupakan bagian dari aspek kepentingan umum, karena
ketentuan pasal 5
Perpres 65 tahun 2006 bersifat limitatif sehingga tidak terbuka penafsiran lain selain
yang disebut dalam peraturan tersebut.
Berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat (1) huruf c UU No.26 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional memuat rencana pola ruang wilayah nasional yang
meliputi kawasan lindung nasional dan kawasan budi daya yang memiliki nilai
strategis nasional. Sedangkan menurut PP No. 26 Tahun
2008 khususnya
pasal 51 huruf a dimana Kawasan lindung nasional terdiri atas salah satunya berupa
kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya. Kawasan yang
memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahnya dijabarkan lebih lanjut dalam
pasal 52 ayat (1) yang menyatakan “
Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya terdiri atas:
a. kawasan hutan lindung;
b. kawasan bergambut; dan
c. kawasan resapan air.”
Jadi jelas berdasarkan
ketentuan beberapa peraturan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kawasan hutan
lindung merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan tidak
termasuk dalam kriteria kepentingan umum.
Karena bukan bagian dari
kepentingan umum, maka dalam pengadaan kawasan hutan lindung dimana di dalam
hutan tersebut terdapat hak ulayat masyarakat hukum adat berlaku pasal 2 ayat (2) Perpres No. 65
tahun 2006 yakni “Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah
dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati
secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”
Sedangkan bila dikaji kedudukan
hak ulayat dalam UUK (undang-undang kehutanan) UUK menggunakan sekaligus
istilah “masyarakat hukum adat” dan istilah ‘masyarakat setempat’. UUK tidak
membuat defenisi mengenai masyarakat setempat (tetapi ada dalam peraturan
pelaksananya), sementara untuk mengukur keberadaan masyarakat hukum adat
ditentukan 5 unsur. Namun, masyarakat hukum adat terkadang diartikan sebagai
bagian dari masyarakat setempat (ps. 17 ayat 2). Sebagai pemangku hak, UUK mengakui kenyataan penguasaan hutan
oleh masyarakat adat (hutan ulayat, hutan marga). Namun penguasaan ini terkena
pembatasan pembatasan dari:
1)
konsep Hak Menguasai Negara; dan
2)
pencapaian tujuan UUK (makalah MS Kaban, Juni 2005)
Konsep dan
pertimbangan-pertimbangan di atas mempengaruhi bentuk dan substansi pengakuan
UUK terhadap hak masyarakat hukum adat atas hutan. Bentuk dan substansi
pengakuan UUK terhadap hak masyarakat hukum adat atas hutan sebenarnya
meneruskan tradisi UUPA, yakni bersyarat: sepanjang masih ada, diakui
keberadaanya dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Menurut
Soemardjono (2005), bedanya UUPA dengan UUK adalah dalam hal pengakuan status
hutan adat. Jika UUPA membagi tanah ke dalam tanah negara, tanah hak dan tanah
ulayat, maka UUK membagi ke dalam hanya 2, yakni hutan negara dan hutan hak
dengan memasukkan hutan adat ke dalam cakupan hutan negara. UUK tidak
merumuskan pengertian masyarakat hukum adat (tidak seperti UU No. 7/2004
tentang Sumber Daya Air) mengakui masyarakat hukum adat sebagai subyek atau
pemangku hak. Juga mengakui hak perseorangan anggota masyarakat adat atas
hutan.
Sedangkan berdasarkan pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Negara
Agraria/Peraturan Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 menyatakan “Hak
ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila :
a.
terdapat sekelompok orang yang masih merasa
terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan
hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan
tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,
b.
terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi
lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil
keperluan hidupnya sehari-hari, dan
c.
terdapat tatanan hukum adat mengenai
pengurusan, penguaasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati
oleh para warga persekutuan hukum tersebut.”
Dari ketentuan di atas maka
terdapat pembatasan terhadap kriteria masyarakat hukum adat, sehingga tidak
bisa serta merta suatu masyarakat mengklaim bahwa komunitasnya merupakan bagian
dari masyarakat hukum adat. Oleh karena itu maka terhadap penetapan kawasan
hutan lindung perlu diadakan melalui jual beli, tukar menukar, atau cara lain
yang disepakati. Jadi pemerintah tidak bisa serta merta mencabut hak ulayat
demi dan atas nama kawasan hutan lindung apabila masyarakat adat tidak mau
menerima tawaran pemerintah, hal ini dikarenakan hutan lindung bukan merupakan
kepentingan umum. Jadi pengadaan tanah untuk kawasan hutan lindung harus sesuai
perjanjian dan kesepakatan antara pemerintah dengan masyarakat hukum
adat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar