firmana_putra@rocketmail.com

Kamis, 31 Januari 2013

GALAU

DILEMAHAK ULAYATDANKEPENTINGAN UMUM
(Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional)
Konsep pelepasan hak atas tanah tetuang dalam Perpres No. 36 Tahun 2005 sebagaimana diubah dengan Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Selain itu berkenaan dengan konsep Kawasan Hutan Lindung kita perlu mencermati pula ketentuan dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
       Urgensi adanya pelepasan hak ulayat dalam kawasan hutan lindung tidak terlepas dari ketentuan konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Pasal 2 UUPA yang merupakan aturan pelaksanaan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dijelaskan pengertian hak menguasai sumber daya alam oleh Negara sebagai berikut :   

1.     Atas dasar ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
2.    Hak menguasai Negara tersebut dalam ayat 1 pasal ini memberikan wewenang untuk:
a.    Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b.    Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
c.    Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
3.    Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal 33, digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan kesejahteraan, kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat adil dan makmur.
4.    Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah, swasta dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan yang berlaku.

Berdasar pasal 2 UUPA dan penjelasannya tersebut, menurut konsep UUPA, pengertian “dikuasai” oleh Negara bukan berarti “dimiliki”, melainkan hak yang memberi wewenang kepada Negara untuk menguasai seperti hal tersebut diatas. Isi wewenang Negara yang bersumber pada hak menguasai SDA oleh Negara tersebut semata-mata bersifat publik yaitu, wewenang untuk mengatur (wewenang regulasi) dan bukan menguasai tanah secara fisik dan menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang “bersifat pribadi”.
Hubungan hukum antara Negara dengan tanah melahirkan hak menguasai tanah oleh Negara, hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya melahirkan hak ulayat, dan gabungan antara perorangan dengan tanah melahirkan hak-hak perorangan atas tanah. idealnya hubungan ketiga hak tersebut (hak menguasai tanah oleh Negara, hak ulayat dan hak perorangan atas tanah) terjalin secara harmonis dan seimbang. Artinya, ketiga hak itu sama kedudukan dan kekuatannya, dan tidak saling merugikan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Perpres 65 tahun 2006 menyatakan “Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.” Sedangkan kriteria yang termasuk Kepentingan umum adalah sesuai dengan Pasal 5 yang menyatakan “Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi :
a.    jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di
b.    ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
c.    waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
d.    pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api ,dan terminal;
e.    fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
f.    tempat pembuangan sampah;
g.    cagar alam dan cagar budaya;
h.    pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik”.
Jika dikaji mengenai kawasan hutan lindung berkaitan dengan kriteria kepentingan umum maka sejatinya kawasan hutan lindung bukan merupakan bagian dari aspek kepentingan umum, karena ketentuan pasal 5 Perpres 65 tahun 2006 bersifat limitatif sehingga tidak terbuka penafsiran lain selain yang disebut dalam peraturan tersebut.
Berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat (1) huruf c UU No.26 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat rencana pola ruang wilayah nasional yang meliputi kawasan lindung nasional dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional. Sedangkan menurut PP No. 26 Tahun 2008 khususnya pasal 51 huruf a dimana Kawasan lindung nasional terdiri atas salah satunya berupa kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahnya dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 52 ayat (1) yang menyatakan “ Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya terdiri atas:
a.      kawasan hutan lindung;
b.      kawasan bergambut; dan
c.       kawasan resapan air.”
Jadi jelas berdasarkan ketentuan beberapa peraturan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kawasan hutan lindung merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan tidak termasuk dalam kriteria kepentingan umum.
Karena bukan bagian dari kepentingan umum, maka dalam pengadaan kawasan hutan lindung dimana di dalam hutan tersebut terdapat hak ulayat masyarakat hukum adat berlaku pasal 2 ayat (2) Perpres No. 65 tahun 2006 yakni “Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.” 
Sedangkan bila dikaji kedudukan hak ulayat dalam UUK (undang-undang kehutanan) UUK menggunakan sekaligus istilah “masyarakat hukum adat” dan istilah ‘masyarakat setempat’. UUK tidak membuat defenisi mengenai masyarakat setempat (tetapi ada dalam peraturan pelaksananya), sementara untuk mengukur keberadaan masyarakat hukum adat ditentukan 5 unsur. Namun, masyarakat hukum adat terkadang diartikan sebagai bagian dari masyarakat setempat (ps. 17 ayat 2). Sebagai pemangku hak, UUK mengakui kenyataan penguasaan hutan oleh masyarakat adat (hutan ulayat, hutan marga). Namun penguasaan ini terkena pembatasan pembatasan dari:
1)      konsep Hak Menguasai Negara; dan
2)      pencapaian tujuan UUK (makalah MS Kaban, Juni 2005)
Konsep dan pertimbangan-pertimbangan di atas mempengaruhi bentuk dan substansi pengakuan UUK terhadap hak masyarakat hukum adat atas hutan. Bentuk dan substansi pengakuan UUK terhadap hak masyarakat hukum adat atas hutan sebenarnya meneruskan tradisi UUPA, yakni bersyarat: sepanjang masih ada, diakui keberadaanya dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Menurut Soemardjono (2005), bedanya UUPA dengan UUK adalah dalam hal pengakuan status hutan adat. Jika UUPA membagi tanah ke dalam tanah negara, tanah hak dan tanah ulayat, maka UUK membagi ke dalam hanya 2, yakni hutan negara dan hutan hak dengan memasukkan hutan adat ke dalam cakupan hutan negara. UUK tidak merumuskan pengertian masyarakat hukum adat (tidak seperti UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air) mengakui masyarakat hukum adat sebagai subyek atau pemangku hak. Juga mengakui hak perseorangan anggota masyarakat adat atas hutan.
Sedangkan berdasarkan pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Peraturan Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 menyatakan “Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila :
a.    terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,
b.    terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan
c.    terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguaasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.”
Dari ketentuan di atas maka terdapat pembatasan terhadap kriteria masyarakat hukum adat, sehingga tidak bisa serta merta suatu masyarakat mengklaim bahwa komunitasnya merupakan bagian dari masyarakat hukum adat. Oleh karena itu maka terhadap penetapan kawasan hutan lindung perlu diadakan melalui jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati. Jadi pemerintah tidak bisa serta merta mencabut hak ulayat demi dan atas nama kawasan hutan lindung apabila masyarakat adat tidak mau menerima tawaran pemerintah, hal ini dikarenakan hutan lindung bukan merupakan kepentingan umum. Jadi pengadaan tanah untuk kawasan hutan lindung harus sesuai perjanjian dan kesepakatan antara pemerintah dengan masyarakat hukum  adat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Design By:
SkinCorner