EKSISTENSI HAK ULAYAT MASYARAKAT KAUM ADAT DI
INDONESIA PASCA UNDANG-UNDANG KEHUTANAN
A. Latar
Belakang.
Dalam kehidupan ini,
tanah mempunyai hubungan yang erat sekali dengan manusia. “Setiap orang tentu
memerlukan tanah bukan hanay dalam kehidupannya, untuk matipun manusia masih
memerlukan tanah. Jumlah luas tanah yang dapat dikuasai manusia sangat terbatas
sekali sedangkan jumlah manusia yang berhajat dengan tanah semakin lama semakin
bertambah”. Kondisi yang tidak seimbang antara persediaan tanah dengan
kebutuhanakan tanah itu telah menimbulkan berbagai persoalan dan kasus-kasus
persengketaan tanah yang memerkukan penyelesaian yang baik, benar dan memberikan
perlindungan serta kepastian hukum juga keadilan.
Untuk memberikan perlindungan terhadap warga negara yang
benar-benar mempunyai hak atas tanah tersebut, maka Negara mengaturnya di dalam
UUPA dimana dalam Pasal 26 ayat (1) UUPA mengatakan bahwa “Jual beli,
penukaran, penghibahan, pemberian wasiat, pemberian menurut adat dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta
pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Namun kenyataan yang
terjadi, banyak tanah yang
dikuasai oleh masyarakat adat (hak ulayat) diambil oleh pemerintah dengan cara-cara kekerasan.
dikuasai oleh masyarakat adat (hak ulayat) diambil oleh pemerintah dengan cara-cara kekerasan.
A.
Pengertian Hak Ulayat.
Pengertian hak ulayat
dapat kita lihat pada Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria yang menetapkan bahwa
“hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” masih tetap
dapat dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang jak
ulayat itu “menurut kenyataan masih ada”.
Hak ulayat dan hak-hak
yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, didefinisikan sebagai “kewenangan
yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas
wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil
manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi
kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah
dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”.
Hak Ulayat, sebutan
yang dikenal dalam kepustakaan Hukum Adat dan dikalangan masyarakat hukum adat
di berbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda, merupakan hak
penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua
tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat
tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya. Hak ulayat
mengandung dua unsur. Unsur pertama adalah unsur hukum perdata, yaitu sebagai
hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah
ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek moyang
mereka dan merupakan karunia suatu kekuatan gaib, sebagai pendukung utama
kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup seluruh warga masyarakat hukum
adat itu. Unsur kedua adalah unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan untuk
mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat
tersebut, baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri maupun
ekstern dengan orang-orang bukan warga atau “orang luar”.
Subyek hak ulayat ini
adalah masyarakat hukum adat, yang perupakan persekutuan hukum yang didasarkan
pada kesamaan tempat tinggal (teritorial), maupun yang didasarkan pada
keturunan (genecalogis), yang dikenal dengan berbagai nama yang khas di daerah
yang bersangkutan, misalnya suku, marga, dati, dusun, nagari dan sebagainya.
Apabila ada orang yang seakan-akan merupakan subyek hak ulayat maka orang
tersebut adalah ketua atau tetua adat yang memperoleh pelimpahan wewenang dari
masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia
bukanlah subyek hak ualayat, melainkan petugas masyarakat hukum adatnya dalam
melaksanakan kewenangan yang bersangkutan dengan hak ulayat.
Mengenai kriteria dan
penentuan masih adanya hak ulayat tanda-tanda yang perlu diteliti untuk
menentukan masih adanya hak ulayat meliputi 3 unsur, yaitu:
a.
Unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok
orang yang masih merasa terikat dengan tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama
suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan
ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
b.
Unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu
yang manjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan
tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan.
c.
Unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan
wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat menganai pengurusan,
penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh
para warga persekutuan hukum tersebut.
B.
Dasar Hukum Hak Ulayat.
Sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. UUD 1945
tidak menyebut tanah melainkan bumi. Mengenai arti bumi ini tidak terdapat
penjelasan lebih lanjut. Menurut Pasal 1 ayat (3) UUPA, bahwa “Hubungan antara
bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang
bersifat abadi”.
Mengenai bumi diatur
dalam UUPA, sebagaimana Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), bahwa seluruh wilayah
Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indoneisa, yang bersatu
sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alan yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia
sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Hal ini berarti bahwa di Indonesia,
pengertian tanah diapakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang
telah dibatasi dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, dasar hak menguasai dari negara
hanya permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain
serta badan-badan hukum.
Setelah Indonesia
merdeka dan berlangsung hingga diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dengan mengingat pentingnya tanah
dalam kahidupan, jauh sebelum diundangkan UUPA telah dikenal sistem penguasaan
suber daya alam di berbagai daerah di Indonesia yang dikeal sebagai hal ulayat.
Walaupun tidak dijelaskan secara jelas mengenai pengertian hak ulayat tetapi
dari berbagai pendapat para ahli, hak ulayat adalah merupakan
pengakuan/kepunyaan bersama seluruh anggota masyarakat dan di dalamnya juga
terkandung adanya hak kepunyaan perorangan yang berarti orang perorangan boleh
mempunyai (memiliki) tanah dalam lingkungan hak ulayat tersebut.
Apabila ditelaah
pendapat-pendapat yang diberikan para ahli di atas, terdapat kesamaan pendapat
mengenai hukum adat, yaitu di dalam hukum adat termuat peraturan-peraturan
hukum yang mengatur kehidupan orang-orang Indonesia dalam bentuk tak tertulis
dan mempunyai akibat hukum.
Di dalam masyarakat
hukum adat, tanah mempunyai arti penting, karena menurut sifatnya tanah
merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang
bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang
menjadi lebih menguntungkan. Karena faktanya, tenah merupakan tempat tinggal
persekutuan, memberikan kehidupan kepada persekutuan, merupakan tempat dimana
para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan dan merupakan pula
temapat tinggal kepada dayang-dayang perlindungan persekutuan dan roh para
leluhur persekutuan.
Dengan demikian
dapatlah dimengerti bahwa hak ulayat tidak secara gamblang dijelaskan tentang
adanya dasar hukum atau aturan-aturan yang mengatur, melainkan hak ulayat
diakui oleh Undang-Undang dan penerapannya mengacu pada Undang-Undang Pokok
Agraria serta hukum adat yang berlaku.
C.
Kedudukan Hak Ulayat.
Pada dasarnya hak ulayat
keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut
masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu, yaitu: “eksistensi” dan mengenai
pelaksananya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut
kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana hak itu
tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali.
Pelaksanaan tentang hak ulayat dalam
UUPA diatur di dalam pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut : “Pelaksanaan
hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional
dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan
dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai
dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum (Angka H/3) disini ditegaskan
pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan
nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas".
Oleh sebab itu, pelaksanaan hak
ulayat secara mutlak, yaitu seakan-akan anggota-anggota masyarakat iu sendirilah
yang berhak atas tanah wilayahnya itu, dan seakan hanya di peruntukan
masyarakat hukum adat itu sendiri. Maka sikap yang demikianlah yang oleh UUPA
dianggap bertentangan, hal ini sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam
pasal 1 dan 2.
Dalam UUPA ,Hak Ulayat yang pada
kenyataanya tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali, juga tidak akan
diciptakan hak ulayat baru. Dalam rangka hukum tanah nasional tugas kewenangan
yang merupakan unsur hak ulayat telah
menjadi tugas kewenangan negara. Pada kenyataanya hak ulayat hapus dengan
sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak
perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan (uraian 85 dan 106 E).
Oleh karena itu hak ulayat tidak akan diatur dan UUPA juga tidak memerintahkan
untuk diatur karena pengaturan hak tersebut akan berakibat melestarikan
eksistensinya.
D. Pengakuan
Hak Ulayat dalam UU Kehutanan.
Hak Ulayat merupakan serangkaian hak
masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah dalam wilayahnya yang
merupakan pendukung utama penghidupan masyarakat yang bersangkutan. Hak Ulayat
diisyaratkan sebagai hak penguasaan tertinggi atas tanah yang merupakan wilayah
suatu masyarakat hukum adat (pasal 3 UUPA). Pemegang Hak Ulayat adalah
masyarakat hukum adat yang bersangkutan sedangkan pelaksananya adalah Penguasa
Adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yaitu Kepala Adat sendiri atau
bersama-sama para tetua adat masing-masing. Pengambilalihan hak ulayat tanpa
persetujuan masyarakat adat merupakan bentuk dari pelanggaran Hak Asasi
Manusia, hal ini tertuang dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia
sebagaimana terdapat dalam Pasal 6 yang berbunyi “Dalam rangka penegakan hak
asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus
diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.” Kepemilikan
tanah rakyat adalah merupakan sebuah hak asasi manusia yang dilindungi oleh
hukum Internasional maupun hukum nasional. Dalam hukum Internasional, hak milik
ini diatur dalam dalam DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia), yaitu:
1.
Pasal 17 ayat (1): “Setiap orang berhak untuk memiliki harta benda baik secara
pribadi maupun bersama-sama dengan orang lain”.;
2. pasal
17 ayat (2): “Tidak seorangpun dapat dirampas harta bendanya secara
sewenang-wenang”;
3.
pasal 30: “Tidak ada satu ketentuanpun dalam deklarasi ini yang dapat
ditafsirkan sebagai memberikan hak pada suatu negara, kelompok atau orang,
untuk terlibat dalam aktivitas atau melakukan suatu tindakan yang bertujuan
untuk menghancurkan hak dan kebebasan-kebebasan apapun yang diatur di dalam
deklarasi ini”.
Dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, Pasal 67 ayat (1), yang berbunyi: “Masyarakat hukum adat
sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, berhak:
1.
melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari
dari masyarakat adat yang bersangkutan;
2.
melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan UU, dan
3. mendapatkan
pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.”
Di dalam penjelasan Pasal 67 UU No
24 Tahun 2003 tentang Kehutanan, menyatakan bahwa “sebagai masyarakat hukum
adat, diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya memenuhi unsur, antara
lain:
1.
masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap)
2. ada
kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya
3. ada
wilayah hukum adat yang jelas
4. ada
pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati
5.
masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.”
Bahkan, penjelasan Pasal 67 ayat
(2), memberikan kesempatan pada pertimbangan hasil penelitian para pakar hukum
adat, aspirasi masyarakat setempat dan Tokoh masyarakat adat di tempat.
Dari segi hak asasi manusia yang
terelaborasi dengan beberapa peraturan perundanga-undangan dan konstitusi maka
tampak bahwa eksistensi masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya
termasuk hak ulayat telah diakui keberadannya, bukan hanya secara nasional,
namun secara universal melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, sehingga
perampasan hak ulayat dan hak-hak lain yang menyerupainya dari masyarakat hukum
adat merupakan bentuk pelanggaran konstitusional dan pelanggaran hak asasi
manusia.
Fakta empris di lapangan menunjukkan
bahwa keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisonalnya justru turut serta
menjaga dan melindungi hutan, salah satunya dalah masyarakat Desa Tenganan,
Bali. Masyarakat Bali memiliki perlindungan kawasan melalui sejarah yang
panjang karena pengaruh dan akulturasi kebudayaan Hindu serta perkembangannya.
Pola pengkeramatan kawasan berlaku pada berbagai tingkatan wilayah sampai
satuan pulau dan tingkat pekarangan. Masyarakat Adat Desa Tenganan merupakan
satu kelompok yang memiliki keunikan tradisi perlindungan hutan. Keunikannya
bertumpu pada kesederhanaan struktur kelembagaan dan kekuatan memegang komitmen
dan bertanggung jawab atas segala tindakannya. Perlindungan kawasan hutan
sebagai bentuk penghormatan terhadap pelindung alam dan kemanusiaan. Dalam
agama Hindu terdapat mitologi hutan sebagai pelindung manusia yaitu “Tumbuh-tumbuhan
memiliki semua sifat-sifat dewa, dan tumbuhan adalah juru selamat kemanusiaan.
Jika manusia menghancurkan tetumbuhan, maka ia menghancurkan “penjaga
kemanusiaan” nya Siapa pun, apakah manusia maupun hewan akan hidup selamat dan
sejahtera di bumi ini kalau kebersihan atmosfir bumi terpelihara dengan segala
cara untuk suksesnya tujuan hidup ini.” (Atharvaveda VIII.2.25, dalam
Titib 2004).
Keberadaan kawasan Desa Adat
Tenganan sebagai hasil kombinasi sumber daya manusia dan sumber daya alam
memberikan berbagai kontribusi dan jasa ekosistem kepada masyarakat secara
luas. Keunikan jasanya antara lain berupa jasa tangkapan air hujan (watershed),
jasa menjaga stabilitas iklim, jasa penyerap berbagai bentuk panas dan polutan
dari luar, mengikuti proses source-sink. Sistem watershed kawasan
Desa Adat Tenganan, tidak hanya berfungsi sebagai tangkapan air hujan tetapi
berfungsi sebagai penjernih air yang tersimpan. Vegetasi hutannya meberikan
penjernihan terhadap kualitas udara dan stabilitas iklim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar