firmana_putra@rocketmail.com

Kamis, 31 Januari 2013

Eksistensi Hak Ulayat

EKSISTENSI HAK ULAYAT MASYARAKAT KAUM ADAT DI INDONESIA PASCA UNDANG-UNDANG KEHUTANAN
A.     Latar Belakang.
      Dalam kehidupan ini, tanah mempunyai hubungan yang erat sekali dengan manusia. “Setiap orang tentu memerlukan tanah bukan hanay dalam kehidupannya, untuk matipun manusia masih memerlukan tanah. Jumlah luas tanah yang dapat dikuasai manusia sangat terbatas sekali sedangkan jumlah manusia yang berhajat dengan tanah semakin lama semakin bertambah”. Kondisi yang tidak seimbang antara persediaan tanah dengan kebutuhanakan tanah itu telah menimbulkan berbagai persoalan dan kasus-kasus persengketaan tanah yang memerkukan penyelesaian yang baik, benar dan memberikan perlindungan serta kepastian hukum juga keadilan.
Untuk memberikan perlindungan terhadap warga negara yang benar-benar mempunyai hak atas tanah tersebut, maka Negara mengaturnya di dalam UUPA dimana dalam Pasal 26 ayat (1) UUPA mengatakan bahwa “Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Namun kenyataan yang terjadi, banyak tanah yang
dikuasai oleh masyarakat adat (hak ulayat) diambil oleh pemerintah dengan cara-cara kekerasan.

A.     Pengertian Hak Ulayat.
Pengertian hak ulayat dapat kita lihat pada Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria yang menetapkan bahwa “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” masih tetap dapat dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang jak ulayat itu “menurut kenyataan masih ada”.
Hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, didefinisikan sebagai “kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”.
Hak Ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan Hukum Adat dan dikalangan masyarakat hukum adat di berbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda, merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya. Hak ulayat mengandung dua unsur. Unsur pertama adalah unsur hukum perdata, yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia suatu kekuatan gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur kedua adalah unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut, baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga atau “orang luar”.
Subyek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, yang perupakan persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal (teritorial), maupun yang didasarkan pada keturunan (genecalogis), yang dikenal dengan berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya suku, marga, dati, dusun, nagari dan sebagainya. Apabila ada orang yang seakan-akan merupakan subyek hak ulayat maka orang tersebut adalah ketua atau tetua adat yang memperoleh pelimpahan wewenang dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subyek hak ualayat, melainkan petugas masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan kewenangan yang bersangkutan dengan hak ulayat.
Mengenai kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat tanda-tanda yang perlu diteliti untuk menentukan masih adanya hak ulayat meliputi 3 unsur, yaitu:
a.       Unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat dengan tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
b.      Unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang manjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan.
c.       Unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat menganai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

B.     Dasar Hukum Hak Ulayat.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung  di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. UUD 1945 tidak menyebut tanah melainkan bumi. Mengenai arti bumi ini tidak terdapat penjelasan lebih lanjut. Menurut Pasal 1 ayat (3) UUPA, bahwa “Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi”.
Mengenai bumi diatur dalam UUPA, sebagaimana Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indoneisa, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alan yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Hal ini berarti bahwa di Indonesia, pengertian tanah diapakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang telah dibatasi dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, dasar hak menguasai dari negara hanya permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Setelah Indonesia merdeka dan berlangsung hingga diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dengan mengingat pentingnya tanah dalam kahidupan, jauh sebelum diundangkan UUPA telah dikenal sistem penguasaan suber daya alam di berbagai daerah di Indonesia yang dikeal sebagai hal ulayat. Walaupun tidak dijelaskan secara jelas mengenai pengertian hak ulayat tetapi dari berbagai pendapat para ahli, hak ulayat adalah merupakan pengakuan/kepunyaan bersama seluruh anggota masyarakat dan di dalamnya juga terkandung adanya hak kepunyaan perorangan yang berarti orang perorangan boleh mempunyai (memiliki) tanah dalam lingkungan hak ulayat tersebut.
Apabila ditelaah pendapat-pendapat yang diberikan para ahli di atas, terdapat kesamaan pendapat mengenai hukum adat, yaitu di dalam hukum adat termuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur kehidupan orang-orang Indonesia dalam bentuk tak tertulis dan mempunyai akibat hukum.
Di dalam masyarakat hukum adat, tanah mempunyai arti penting, karena menurut sifatnya tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang menjadi lebih menguntungkan. Karena faktanya, tenah merupakan tempat tinggal persekutuan, memberikan kehidupan kepada persekutuan, merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan dan merupakan pula temapat tinggal kepada dayang-dayang perlindungan persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.
Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa hak ulayat tidak secara gamblang dijelaskan tentang adanya dasar hukum atau aturan-aturan yang mengatur, melainkan hak ulayat diakui oleh Undang-Undang dan penerapannya mengacu pada Undang-Undang Pokok Agraria serta hukum adat yang berlaku.

C.     Kedudukan Hak Ulayat.
Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu, yaitu: “eksistensi” dan mengenai pelaksananya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali.
Pelaksanaan tentang hak ulayat dalam UUPA diatur di dalam pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut : “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum (Angka H/3) disini ditegaskan pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas".
Oleh sebab itu, pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, yaitu seakan-akan anggota-anggota masyarakat iu sendirilah yang berhak atas tanah wilayahnya itu, dan seakan hanya di peruntukan masyarakat hukum adat itu sendiri. Maka sikap yang demikianlah yang oleh UUPA dianggap bertentangan, hal ini sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam pasal 1 dan 2.
Dalam UUPA ,Hak Ulayat yang pada kenyataanya tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali, juga tidak akan diciptakan hak ulayat baru. Dalam rangka hukum tanah nasional tugas kewenangan yang merupakan unsur hak ulayat  telah menjadi tugas kewenangan negara. Pada kenyataanya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan (uraian 85 dan 106 E). Oleh karena itu hak ulayat tidak akan diatur dan UUPA juga tidak memerintahkan untuk diatur karena pengaturan hak tersebut akan berakibat melestarikan eksistensinya.

D.     Pengakuan Hak Ulayat dalam UU Kehutanan.
       Hak Ulayat merupakan serangkaian hak masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah dalam wilayahnya yang merupakan pendukung utama penghidupan masyarakat yang bersangkutan. Hak Ulayat diisyaratkan sebagai hak penguasaan tertinggi atas tanah yang merupakan wilayah suatu masyarakat hukum adat (pasal 3 UUPA). Pemegang Hak Ulayat adalah masyarakat hukum adat yang bersangkutan sedangkan pelaksananya adalah Penguasa Adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yaitu Kepala Adat sendiri atau bersama-sama para tetua adat masing-masing. Pengambilalihan hak ulayat tanpa persetujuan masyarakat adat merupakan bentuk dari pelanggaran Hak Asasi Manusia, hal ini tertuang dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagaimana terdapat dalam Pasal 6 yang berbunyi “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.” Kepemilikan tanah rakyat adalah merupakan sebuah hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum Internasional maupun hukum nasional. Dalam hukum Internasional, hak milik ini diatur dalam dalam DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia), yaitu:
1.      Pasal 17 ayat (1): “Setiap orang berhak untuk memiliki harta benda baik secara pribadi maupun bersama-sama dengan orang lain”.;
2.      pasal 17 ayat (2): “Tidak seorangpun dapat dirampas harta bendanya secara sewenang-wenang”;
3.      pasal 30: “Tidak ada satu ketentuanpun dalam deklarasi ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberikan hak pada suatu negara, kelompok atau orang, untuk terlibat dalam aktivitas atau melakukan suatu tindakan yang bertujuan untuk menghancurkan hak dan kebebasan-kebebasan apapun yang diatur di dalam deklarasi ini”.
Dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 67 ayat (1), yang berbunyi: “Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, berhak:
1.      melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dari masyarakat adat yang bersangkutan;
2.      melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan UU, dan
3.      mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.”
Di dalam penjelasan Pasal 67 UU No 24 Tahun 2003 tentang Kehutanan, menyatakan bahwa “sebagai masyarakat hukum adat, diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya memenuhi unsur, antara lain:
1.      masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap)
2.      ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya
3.      ada wilayah hukum adat yang jelas
4.      ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati
5.      masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.”
          Bahkan, penjelasan Pasal 67 ayat (2), memberikan kesempatan pada pertimbangan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat dan Tokoh masyarakat adat di tempat.
Dari segi hak asasi manusia yang terelaborasi dengan beberapa peraturan perundanga-undangan dan konstitusi maka tampak bahwa eksistensi masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya termasuk hak ulayat telah diakui keberadannya, bukan hanya secara nasional, namun secara universal melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, sehingga perampasan hak ulayat dan hak-hak lain yang menyerupainya dari masyarakat hukum adat merupakan bentuk pelanggaran konstitusional dan pelanggaran hak asasi manusia.
         Fakta empris di lapangan menunjukkan bahwa keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisonalnya justru turut serta menjaga dan melindungi hutan, salah satunya dalah masyarakat Desa Tenganan, Bali.       Masyarakat Bali memiliki perlindungan kawasan melalui sejarah yang panjang karena pengaruh dan akulturasi kebudayaan Hindu serta perkembangannya. Pola pengkeramatan kawasan berlaku pada berbagai tingkatan wilayah sampai satuan pulau dan tingkat pekarangan. Masyarakat Adat Desa Tenganan merupakan satu kelompok yang memiliki keunikan tradisi perlindungan hutan. Keunikannya bertumpu pada kesederhanaan struktur kelembagaan dan kekuatan memegang komitmen dan bertanggung jawab atas segala tindakannya. Perlindungan kawasan hutan sebagai bentuk penghormatan terhadap pelindung alam dan kemanusiaan. Dalam agama Hindu terdapat mitologi hutan sebagai pelindung manusia yaitu “Tumbuh-tumbuhan memiliki semua sifat-sifat dewa, dan tumbuhan adalah juru selamat kemanusiaan. Jika manusia menghancurkan tetumbuhan, maka ia menghancurkan “penjaga kemanusiaan” nya Siapa pun, apakah manusia maupun hewan akan hidup selamat dan sejahtera di bumi ini kalau kebersihan atmosfir bumi terpelihara dengan segala cara untuk suksesnya tujuan hidup ini.” (Atharvaveda VIII.2.25, dalam Titib 2004).
          Keberadaan kawasan Desa Adat Tenganan sebagai hasil kombinasi sumber daya manusia dan sumber daya alam memberikan berbagai kontribusi dan jasa ekosistem kepada masyarakat secara luas. Keunikan jasanya antara lain berupa jasa tangkapan air hujan (watershed), jasa menjaga stabilitas iklim, jasa penyerap berbagai bentuk panas dan polutan dari luar, mengikuti proses source-sink. Sistem watershed kawasan Desa Adat Tenganan, tidak hanya berfungsi sebagai tangkapan air hujan tetapi berfungsi sebagai penjernih air yang tersimpan. Vegetasi hutannya meberikan penjernihan terhadap kualitas udara dan stabilitas iklim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Design By:
SkinCorner