Di Balik Perjanjian
Pemerintah
“Khianati”Rakyat Buluhcina
Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai dan dipergunakan
sepenuhnya untuk kemakmuran Penguasa Negara dan gerombolannya
Gempa
Bumi, Air Banjir, Luapan lahar, tanah lonsor dan Hujan Batu sepenuhnya milik
rakyat dan silahkan dikuasai atau dipergunakan sepenuhnya oleh rakyat untuk
melatih kesabaran (Bung sam, Elviriadi 2002)
Sesudah konsep kearifan masyarakat kandas oleh
kebijakan negara yang “merasa” memiliki hutan tanah adat, kegelisahan rakyat
memuncak dan terbitlah perlawanan. Kebijakan pembangunan yang tidak berbasiskan
budaya, kepercayaan dan sistem sosial yang mengakar sejak dahulu kala sebagai
warisan leluhur masyarakat berbuah konflik, kegelisahan hati dan kehancuran
lingkungan.
Pemerintah Indonesia dan Riau sesungguhnya punya
landasan psikologis tertentu mengapa tidak mengapresiasi nilai-nilai luhur
masyarakat. Faktor paling mendasar diantaranya adalah iklim politik nasional
yang cendrung menganggap isu lingkungan tidak krusial dan mendesak. Faktor
komitmen pada rakyat yang amat lemah karena motifasi jadi pejabat adalah untuk
kaya, bukan idiologis. Terjadilah drama penindasan rakyat lewat kebijakan yang
terkesan pro rakyat menjadi modus yang selalu di dengungkan, cerita lama yang
tetap terjadi sampai dewasa ini.
Sebuah kajian dari Bank Dunia menemukan bahwa sistem
nilai tradisional merupakan aset utama dari pada modal sosial masyarakat miskin
atau masyarakat luar bandar dalam upaya mengawal kehidupan mereka sendiri. Untuk
alasan ini, potensi kontribusi lokal harus dikelola secara berkelanjutan karena
menghemat biaya hidup mereka maupun pengeluaran pemerintah. Strategi masyarakat
begitu rupa, patut dipromosikan dalam proses pembangunan dimasa depan.
Pengetahuan tradisional adalah bahagian integral dari budaya dan sejarah local community. Kita harus belajar dari
masyarakat setempat untuk memperkaya proses pembangunan “ .(Bank Dunia 2001)
Di salah satu daerah di kabupaten kampar (Riau),
terdapat “Hutan Ulayat Rimbo Tujuh Danau” yang terletak di Desa Buluhcina
Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar. Komunitas adat Desa Buluhcina sangat
berpegang teguh menjaga kelestarian hutan adat Rimbo Tujuh Danau seluas 1000
ha. Hutan Ulayat Rimbo Tujuh Danau seluas 1000 ha pada awalnya merupakan milik
masyarakat adat, namun Ninik Mamak masyarakat Buluhcina menyerahkan hutan
Ulayat yang 1000 hektar tersebut ke Pemerintah Provinsi Riau dengan alasan
masyarakat menyetujui dengan sukarela menyerahkan kepada Pemerintah Provinsi
untuk dijadikan sebagai kawasan taman wisata alam, dimana masyarakat Buluhcina
pun tidak diperbolehkan untuk menebang kayu yang ada di hutan tersebut.
Bahkan Pemerintah Provinsi Riau pada tahun 2006
telah mengeluarkan surat Keputusan Gubernur Riau Nomor: Kpts 468/IX/2006
tanggal 6 September 2006, tentang penunjukkan kelompok hutan Buluhcina di
Kabupaten Kampar seluas 1000 hektar sebagai kawasan Taman Wisata Alam.
Lalu apa konpensasi yang diberikan pemerintah
kepada masyarakat Buluhcina, sesuai dengan Perda Kabupaten kampar Tentang Hak
Tanah Ulayat pasal 2 ayat 2 yang berbunyi “ Fungsi hak ulayat adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan anggota persekutun dan masyarakat yang bersifat
sosial dan ekonomis”. Masyarakat telah
membuat kesepakatan dengan Pemerintah Provinsi, masyarakat mau menyerahkan 1000
hektar untuk dijadikan kawasan hutan wisata asalkan tanah ulayat yang diluar
1000 ha di manfaatkankan untuk kesejahteran masyarakat.
Hak Tanah Ulayat Pasal 3 ayat1 sesuai dengan maksud
pasal 2, “Agar tanah ulayat menjadi produktif
dapat diberikan hak pola kemitraan pada pihak ketiga”. Nah, masyarakat dan
Ninik mamak sudah menjalankan Perda yang bersangkutan dan bahkan ditambahkan
dengan ayat 3 yaitu “ kesepakatan kedua belah pihak dibuat di hadapan pejabat
yang berwenang untuk melakukan perjanjian-perjanjian sebagaimana dimaksud pada
ayat 1.
Pemerintah harus tahu, Hak Tanah Ulayat merupakan
salah satu harta milik bersama suatu masyarakat adat, yang mencakup suatu
kesatuan wilayah berupa lahan pertanahan, tumbuhan yang hidup liar dan binatang
yang hidup liar diatasnya. Buluhcina memiliki masyarakat yang taat kepada
pemimpin, taat kepada aturan namun kenapa pemimpin itu sendiri yang tidak
memperlihatkan bahwa dia taat kepada amanah masyarakat, dan taat untuk
mensejahterakan masyarakat, malahan pemerintah mengajarkan kepada masyarakat
untuk menghinakan dirinya. Menghianati perjanjian sama saja meninggalkan luka
yang dalam bagi masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar