firmana_putra@rocketmail.com

Rabu, 26 Desember 2012

Fungsi Hutan Tanah Masyarakat Melayu


Orang-orang Melayu masa silam sudah memikirkan apa yang terjadi seandainya hak-hak adat dan pengelolaan Hutan Tanah  diabaikan. Karenanya mereka sudah merancang dan menetapkan berbagai ketentuan adat untuk melindungi hak-hak adat masyarakat serta memberikan tunjuk ajar bagaimana pengelolaannya


a.            Fungsi Hutan Tanah
Pengalaman menunjukkan, bahwa di beberapa kawasan Melayu serumpun,  status kepemilikan tanah, terutama “Tanah Wilayat” (Tanah Ulayat) atau lazim disebut “Tanah Adat”, mengalami banyak masalah, karena tanah oleh masyarakat adat masih dianggap ada, sedangkan pihaaklain menganggapnya “tidak ada”. Masalah lain muncul akibat adanya peraturan yang berlaku dan ketetapan serta kebijakan lainnya yang tidak berpihak kepada kepemilikan hak-hak adat, sehingga pembangunan justru “menyengsarakan” masyarakat bukan mensejahterakannya. Banyak sudah hak-hak adat yang diambil dan di alihkan ke pihak lain secara semena-mena. Akibatnya, banyak orang-orang Melayu (lazimnya yang bermukim di kawasan perkampungan) menderita atas kehilangan hak-hak adat atas Tanah Adat yang sejak turun temurun mereka miliki dan kuasai.
Bagi masyarakat Melayu hutan tanah bukan hanya sekeddar tempat hisup dan mencari nafkah, tetapi juga menjadi symbol pengukuhan Tuah dan Maruah serta menjaaadi sumber falsafah dan nilai budaya yang mereka anut. Di dalam ungkapan adat di katakana: ” di dalam hutan, banyak contoh teladan; atau dikatakan: “ di dalam rimba, banyaklah tuah” ; atau dikatakan: “ di dalam belantara, banyaklah faedah” atau dikatakan: “ di dalam bumi dan Air, banyak tempat berfikir…..dst
b.           Fungsi Hutan Tanah Sebagai Pengukuhan Tuah dan Maruah
Orang tua-tua Melayu mengatakan  bahwa masyarakat, pesukuan atau puak yang tidak memiliki hutan tanah, adalah “ibarat semut yang tidak bersarang, ibarat burung yang tak bertempat hinggap, ibarat ayam yang tak bereban, ibarat kerbau tidak berpadang”. Mereka dapat disamakan dengan “hewan yang berkeliaran”. Karenanya, mereka dapat dianggap “rendah”, tidak memiliki tanggung jawab terhadap anak cucunya serta tidak memiliki tuah  dan maruah. Di dalam ungkapan masyarakat atau suku yang tidak berhutan tanah ini dikatakan: “bersuku tidak bertuah, berpuak tidak bermaruah, kelaut ia kan hanyut, keddarat ia kan melarat, ke hulu mendapat malu, ke hilir mendapat aib.

Pustaka
Elviriadi.2011. “Lelaki Ocu Terakhir”. Pekanbaru: CV Nuansa Karya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Design By:
SkinCorner