Orang-orang Melayu masa silam sudah memikirkan apa
yang terjadi seandainya hak-hak adat dan pengelolaan Hutan Tanah diabaikan. Karenanya mereka sudah merancang
dan menetapkan berbagai ketentuan adat untuk melindungi hak-hak adat masyarakat
serta memberikan tunjuk ajar bagaimana pengelolaannya
a. Fungsi Hutan Tanah
Pengalaman
menunjukkan, bahwa di beberapa kawasan Melayu serumpun, status kepemilikan tanah, terutama “Tanah
Wilayat” (Tanah Ulayat) atau lazim disebut “Tanah Adat”, mengalami banyak
masalah, karena tanah oleh masyarakat adat masih dianggap ada, sedangkan
pihaaklain menganggapnya “tidak ada”. Masalah lain muncul akibat adanya
peraturan yang berlaku dan ketetapan serta kebijakan lainnya yang tidak
berpihak kepada kepemilikan hak-hak adat, sehingga pembangunan justru
“menyengsarakan” masyarakat bukan mensejahterakannya. Banyak sudah hak-hak adat
yang diambil dan di alihkan ke pihak lain secara semena-mena. Akibatnya, banyak
orang-orang Melayu (lazimnya yang bermukim di kawasan perkampungan) menderita
atas kehilangan hak-hak adat atas Tanah Adat yang sejak turun temurun mereka
miliki dan kuasai.
Bagi
masyarakat Melayu hutan tanah bukan hanya sekeddar tempat hisup dan mencari
nafkah, tetapi juga menjadi symbol pengukuhan Tuah dan Maruah serta menjaaadi
sumber falsafah dan nilai budaya yang mereka anut. Di dalam ungkapan adat di
katakana: ” di dalam hutan, banyak contoh teladan; atau dikatakan: “ di dalam
rimba, banyaklah tuah” ; atau dikatakan: “ di dalam belantara, banyaklah
faedah” atau dikatakan: “ di dalam bumi dan Air, banyak tempat berfikir…..dst
b.
Fungsi Hutan Tanah Sebagai Pengukuhan
Tuah dan Maruah
Orang
tua-tua Melayu mengatakan bahwa
masyarakat, pesukuan atau puak yang tidak memiliki hutan tanah, adalah “ibarat
semut yang tidak bersarang, ibarat burung yang tak bertempat hinggap, ibarat
ayam yang tak bereban, ibarat kerbau tidak berpadang”. Mereka dapat disamakan
dengan “hewan yang berkeliaran”. Karenanya, mereka dapat dianggap “rendah”,
tidak memiliki tanggung jawab terhadap anak cucunya serta tidak memiliki
tuah dan maruah. Di dalam ungkapan
masyarakat atau suku yang tidak berhutan tanah ini dikatakan: “bersuku tidak
bertuah, berpuak tidak bermaruah, kelaut ia kan hanyut, keddarat ia kan
melarat, ke hulu mendapat malu, ke hilir mendapat aib.
Pustaka
Elviriadi.2011. “Lelaki
Ocu Terakhir”. Pekanbaru: CV Nuansa Karya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar