PENCABUTAN HAK ULAYAT
DEMI PENGADAAN HUTAN
LINDUNG
(Bangsa yang besar adalah bansa yang menghargai,menjaga dan menghormati Budayanya)
(Bangsa yang besar adalah bansa yang menghargai,menjaga dan menghormati Budayanya)
Hak ulayat, merupakan hak purba dan hak trasdisional
berupa hak secara kolektif dalam suatu wilayah yang dimiliki oleh suatu
masyarakat dimana hak ini diakui dan dihormati oleh negara sesuai dengan
landasan konstitusi UUD NRI 1945 Pasal 18B dan juga dalam UU No. 32 Tahun 2004
junto UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah Pasal 2 ayat (2). Diakui dan dihormati, maksudnya di sini adalah hak
tradisional itu sendiri telah diakui entitas keberadaannya jauh sebelum bangsa
Indonesia itu sendiri lahir. Sehingga hak tradisional yang dalam hal ini adalah
hak ulayat masyarakat hukum adat bukanlah hak yang berasal dari pemberian
negara. Sama halnya dengan tiga hak yang bersifat fundamental dan melekat dalam
tiap diri manusia, yakni hak untuk hidup, hak atas kebendaan dan hak
kekeluargaan. Jadi dengan eksistensi dari pada pencabutan hak ulayat ini
merupakan inskonstitusiona.
Kemudian, yang perlu diketahui di sini adalah,
pencabutan hak ulayat ini bukanlah untuk kepentingan umum, mengingat bahwa
konstitusi membatasi hak dan kebebasan setiap individu demi dan atas dasar
kepentingan umum, karena menurut Peraturan Presiden No 65 tahun 2006 dinyatakan
dalam pasal 5, Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah
atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang selanjutnya
dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi:
1. Jalan
umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun
di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan
sanitasi;
2. waduk,
bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
3. pelabuhan,
bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
4. fasilitas
keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan
lain-lain bencana;
5. tempat
pembuangan sampah;
6. cagar
alam dan cagar budaya;
7. pembangkit,
transmisi, distribusi tenaga listrik
Perlu digaris bawahi bahwa cagar alam dan hutan lindung
memiliki makna dan pengertian yang berbeda walaupun memiliki fungsi sama, yakni
sama-sama berfungsi sebagai perlindungan. Namun, perlu diketahui bahwa objek
dari cagar alam adalah perlindungan terhadapa fauna dan flora yang ada di
dalamnya, sedangkan hutan lindung sendiri memiliki fungsi untuk menjaga tatanan
air, kesuburan tanah, mencegah erosi dan banjir sesuai dalam UU No 41 Tahun
1999. Tentang Kehutanan. Jadi kembali diper
tegas bahwa pencabutan hak ulayat
adalah inkonstitusi.
Sebagai tambahan, memang dalam pasal 28j ayat (2)
menyebutkan bahwa setiap orang dalam hal ini tiap individu wajib tunduk
terhadap pembatasan yang diberlakukan oleh Undang-undang, perlu diketahui bahwa
hak ulayat adalah hak kolektif yang dimiliki secara bersama-sama, tidak secara
personil ataupun individu. Jadi bisa dibayangkan ketika pencabutan hak ulayat
itu dilakukan, ini tidak hanya berdampak pada satu orang saja, tapi besar
kemungkinannya berdampak negatif pada satu komunitas masyarakat hukum adat yang
ada di dalamnya. Apalagi bangsa indonesia adalah bangsa dengan latar belakang
kebudayaan yang majemuk dan beranekaragam. Seharusnya kita menghormati dan
bangga akan hal itu.
Fakta menyatakan bahwa sekitar 40juta sampai 60 juta
penduduk Indonesia hidup di dalam dan di luar kawasan hutan, masyarakat hukum
adat termaksud di dalamnya. Perlu diketahui bahwa hampir 2/3 kepulauan di
Indonesia ditutupi oleh hutan. Hal ini pastinya menelisik logika kita untuk
berpikir, mengapa pemerintah dalam hal ini mesti mengeluarkan kebijakan untuk
mencabut hak ulayat masyarakat hukum adat hanya dengan alasan pengadaan hutan
lindung. Pastinya ada interest politik di dalamnya. Bahkan ditakutkan dengan
adanya hutan tanpa penjagaan daripada masyarakat dan hak ulayat didalamnya,
bisa saja hutan tersebut justru dijarah oleh tangan-tangan yang tidak
bertanggungjawab, bahkan bisa dikatakan mereka berkonspirasi dengan pemerintah
setempat. Seperti yang pernah terjadi di Kontu, Raha, di mana masyarakat hukum
adat di sana ditangkap dan diadili dengan alasan pengrusakan hutan, padahal
mereka hanya mengelola hutan dan berhuma di dalamnya, dan hal ini dilakukan
untuk bertahan hidup karena mata pencaharaian mereka berasal dari hutan. Tidak
lebih.
Memang
dalam mencapai keadilan, kita mengenal akan adanya ganti rugi berupa materi.
Tapi perlu diingat, yang namanya kesejahteraan lahir dan batin itu tidak bisa
dinilai dengan materi, apalagi mengingat bahwa masyarakat hukum adat memiliki
entitas budaya yang seharusnya kita jaga dan lestarikan. Ingat, bangsa yang
besar, adalah bangsa yang menghargai, menjaga dan menghormati budayanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar