firmana_putra@rocketmail.com

Minggu, 03 Februari 2013

KETIKA HUKUM BERTASBIH


PENCABUTAN HAK ULAYAT 
DEMI PENGADAAN HUTAN LINDUNG
(Bangsa yang besar adalah bansa yang menghargai,menjaga dan menghormati Budayanya)

     Hak ulayat, merupakan hak purba dan hak trasdisional berupa hak secara kolektif dalam suatu wilayah yang dimiliki oleh suatu masyarakat dimana hak ini diakui dan dihormati oleh negara sesuai dengan landasan konstitusi UUD NRI 1945 Pasal 18B dan juga dalam UU No. 32 Tahun 2004 junto UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah Pasal 2 ayat (2). Diakui dan dihormati, maksudnya di sini adalah hak tradisional itu sendiri telah diakui entitas keberadaannya jauh sebelum bangsa Indonesia itu sendiri lahir. Sehingga hak tradisional yang dalam hal ini adalah hak ulayat masyarakat hukum adat bukanlah hak yang berasal dari pemberian negara. Sama halnya dengan tiga hak yang bersifat fundamental dan melekat dalam tiap diri manusia, yakni hak untuk hidup, hak atas kebendaan dan hak kekeluargaan. Jadi dengan eksistensi dari pada pencabutan hak ulayat ini merupakan inskonstitusiona.
        Kemudian, yang perlu diketahui di sini adalah, pencabutan hak ulayat ini bukanlah untuk kepentingan umum, mengingat bahwa konstitusi membatasi hak dan kebebasan setiap individu demi dan atas dasar kepentingan umum, karena menurut Peraturan Presiden No 65 tahun 2006 dinyatakan dalam pasal 5, Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi:
1. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
2. waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
3. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
4. fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
5.  tempat pembuangan sampah;
6.  cagar alam dan cagar budaya;
7.  pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik
Perlu digaris bawahi bahwa cagar alam dan hutan lindung memiliki makna dan pengertian yang berbeda walaupun memiliki fungsi sama, yakni sama-sama berfungsi sebagai perlindungan. Namun, perlu diketahui bahwa objek dari cagar alam adalah perlindungan terhadapa fauna dan flora yang ada di dalamnya, sedangkan hutan lindung sendiri memiliki fungsi untuk menjaga tatanan air, kesuburan tanah, mencegah erosi dan banjir sesuai dalam UU No 41 Tahun 1999. Tentang Kehutanan. Jadi kembali diper
  tegas bahwa pencabutan hak ulayat adalah inkonstitusi.
Sebagai tambahan, memang dalam pasal 28j ayat (2) menyebutkan bahwa setiap orang dalam hal ini tiap individu wajib tunduk terhadap pembatasan yang diberlakukan oleh Undang-undang, perlu diketahui bahwa hak ulayat adalah hak kolektif yang dimiliki secara bersama-sama, tidak secara personil ataupun individu. Jadi bisa dibayangkan ketika pencabutan hak ulayat itu dilakukan, ini tidak hanya berdampak pada satu orang saja, tapi besar kemungkinannya berdampak negatif pada satu komunitas masyarakat hukum adat yang ada di dalamnya. Apalagi bangsa indonesia adalah bangsa dengan latar belakang kebudayaan yang majemuk dan beranekaragam. Seharusnya kita menghormati dan bangga akan hal itu.
Fakta menyatakan bahwa sekitar 40juta sampai 60 juta penduduk Indonesia hidup di dalam dan di luar kawasan hutan, masyarakat hukum adat termaksud di dalamnya. Perlu diketahui bahwa hampir 2/3 kepulauan di Indonesia ditutupi oleh hutan. Hal ini pastinya menelisik logika kita untuk berpikir, mengapa pemerintah dalam hal ini mesti mengeluarkan kebijakan untuk mencabut hak ulayat masyarakat hukum adat hanya dengan alasan pengadaan hutan lindung. Pastinya ada interest politik di dalamnya. Bahkan ditakutkan dengan adanya hutan tanpa penjagaan daripada masyarakat dan hak ulayat didalamnya, bisa saja hutan tersebut justru dijarah oleh tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab, bahkan bisa dikatakan mereka berkonspirasi dengan pemerintah setempat. Seperti yang pernah terjadi di Kontu, Raha, di mana masyarakat hukum adat di sana ditangkap dan diadili dengan alasan pengrusakan hutan, padahal mereka hanya mengelola hutan dan berhuma di dalamnya, dan hal ini dilakukan untuk bertahan hidup karena mata pencaharaian mereka berasal dari hutan. Tidak lebih.
Memang dalam mencapai keadilan, kita mengenal akan adanya ganti rugi berupa materi. Tapi perlu diingat, yang namanya kesejahteraan lahir dan batin itu tidak bisa dinilai dengan materi, apalagi mengingat bahwa masyarakat hukum adat memiliki entitas budaya yang seharusnya kita jaga dan lestarikan. Ingat, bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghargai, menjaga dan menghormati budayanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Design By:
SkinCorner