Keindahan tasik di hutan
larangan Buluhcina sungguh memukau mata, tanah yang hijau dengan pohon yang
sangat besar hingga pelukan beberapa orang dewasa membentang di area seluas
1.000 hektar. Hanya, keindahannya kini semakin terancam dengan meluasnya
keinginan menanam sawit dengan member keuntungan ekonomi secara instan.
Desa Buluhcina berjarak 3
Km dari pusat kecamatan, 100 Km dari pusat Kabupaten dan 21 Km dari ibukota provinsi.
Desa dengan luas 6.500 hektar ini masuk dalam wilayah kabupaten Kampar. Secara
adat desa ini masuk dalam Negeri Enam Tanjung yang terdiri dari 6 desa.
Yang paling menarik dari
Desa Buluhcina adalah hutan wisatanya nan elok. Hutan wisata Buluhcina didirikan
dengan kesadaran masyarakat adat berdasarkan surat keputusan Lembaga Musyawarah
Desa (LMB)Nomor 01-XII/LMB 1997. Areal seluas 1000 hekta ini dicadangkan
menjadi hutan wisata.
Masyarakat Buluhcina
rata-rata hanya menggantungkan hidup pada hutan untuk keperluan kayu bakar dan
tidak menggantungkan semua kehidupannya secara total. Bahkan tanpa hutan kehidupan masyarakat ini tidak akan terganggu
sama sekali. “sehingga secara pengetahuan dan pengalaman tingkat interaksi
masyarakat tidak terlalu tinggi.”
Pengetahuan masyarakat
mengenai status hutan biasanya diperoleh dari orang-orang sekitarnya yang
sering memanfaatkan hutan untuk menambah penghasilan. Banyak yang memiliki
penghasilan utama dari perkebunan sawit atau karet. Selain itu mereka
mendapatkan informasi dari pihak penyuluh, media masa dan media cetak mengenai
manfaat dan fungsi hutan tetapi tingkat interaksinya kecil.
Jenis-jenis pemanfaatan
sumberdaya hutan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Buluhcina terdiri dari
pemanfaatan sumberdaya hutan sebagai bahan obat-obatan, bahan makanan, bahan
bangunan dan kerajinan tangan, untuk kayu bakar, sebagai makanan ternak dan
sebagai sumber kehidupan lainnya. Sumberdaya hutan yang di manfaatkan meliputi
hasil hutan non kayu.
Penggunaan sumberdaya
hutan khususnya kayu saat ini tidak diperbolehkan lagi berdasarkan aturan yang
telah di sepakati pada Musyawarah Besar yang dilakukan oleh masyarakat Desa
Buluhcina. Setelah dikeluarkannya aturan untuk larangan dalam menebang kayu
pada tahun 1997 bersamaan dengan Musyawarah Besar yang dilakukan, masyarakat
Desa Buluhcina tidak diperbolehkan lagi menebang kayu. Namun untuk kayu yang
tumbang karena factor alam dan sebelum aturan dikeluarkan boleh dimanfaatkan
oleh masyarakat.
Masyarakat juga
menggunakan Bambu Pooring untuk
membuat sampan hias. Badan sampan dari bambu, kepala sampan dari kayu rengas,
dayung sampan dari tusuk gigi dan dudukan sampan dari rumah keong. Dalam satu
minggu dapat dibuat sampan hias sebanyak 15 buah namun hanya untuk memenuhi
kebutuhan pesanan dari pembeli. Satu buah sampan hias tanpa kaca dijual seharga
Rp. 25,000,- sedangkan sampan hias yang diberi kaca dijual seharga Rp.50.000,-
Pengambilan sumberdaya
hutan untuk keperluan kerajinan tangan bersifat insidentil karena masyarakat
tidak menjadikan pembuatan kerajinan tangan ini sebagai mata pencarian pokok.
Hanya momen tertentu seperti pada acara pacu sampan Buluhcina. Sedangkan untuk
pembuatan pelita rotan masih dalam skala kecil untuk memenuhi kebutuhan
perorangan.
Jenis-jenis sumberdaya
hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Buluhcina sebagai bahan makanan terdiri
dari bahan makanan untuk sayur-sayuran, buah-buahan, madu. Tumbuhan yang
dimanfaatkan sebanyak 11 jenis dari 10 famili.
Penggunaan untuk sendiri
dilakukan pada sumberdaya hutan yang sulit untuk di dapatkan sehingga jumlah
dan kesinambungannya untuk dikumpulkan sangat terbatas. Sumberdaya hutan yang
masuk dalam criteria ini seperti, rebung, umbut rotan, dan lalap-lalapan.
Sedangkan sumberdaya hutan untuk dijual dari jenis pakis sayur dan buah-buahan
seperti, manggis,rambai, durian dan petai.
Masyarakat ada juga yang
menjadi pengumpul sundak langit Biasanya
para pengumpul sudak langit juga pengumpul pakis dimana sambil menunggu pakis
kembali bertunas para pengumpul akan beralih mencari sundak langit. Pengumpul
pakis dilakukan dengan cara dipetik di
lokasi-lokasi penyebaran pakis. Pemetikan pakis dilakukan pada daun yang masih
muda. Masyarakat Buluhcina pada umumnya mengambil pakis tiga kali dalam seminggu
pada hari senin, selasa dan rabu.
Biasanya pakis yang diambil, banyak tumbuh pada musim penghujan. Pada
tingkat pengumpul satu ikat pakis dihargai Rp 1000,- sedangkan apabila pakis
sudah sampai dipasar dihargai Rp. 2000,- per ikatnya.
Ada juga masyarakat
pengumpul pakis kadang kala juga mengumpulkan umbut rotan. Pengumpul umbut
rotan biasanya dilakukan apabila mudah dilihat dan dijangkau. Pengumpul umbut
rotan bukan bukan merupakan kegiatan yang dilakukan secara sengaja sehingga
hanya beberapa orang saja yang mengumpulkan umbut rotan. Satu batang umbut
rotan di hargai Rp.2000,-, atau mereka menjualnya 3 batang Rp.5.000,-.
Selain pakis dan umbut
rotan, hutan ulayat Desa Buluhcina juga menghasilkan madu lebah. Masu lebah ini
terdapat pada jenis-jenis pohon tertentu yang disukai oleh lebah untuk
bersarang. Pohon-pohon yang dihinggapi oleh lebah untuk bersarang disebut Pohon
Sialang.
Disamping tumbuhan di
hutan ulayat Desa Buluhcina, juga memiliki tujuh buah danau yang disebut danau
tapal kuda (Oxbow lake), menurut
sejarah pembentukannya danau ini awalnya adalah sungai yang berevolusi dank
arena terlalu berbelok-belok menyebabkan terjadinya penimbunan aliran sehingga
sungai terbendung dan membentuk danau. Danau ini terletak di dalam kawasan
hutan ulayat Desa Buluhcina dan mengandung potensi ikan yang cukup besar. Ikan
merupakan hasil hutan bukan kayu (Sumadiwangsa
dan setiawan, 2007) dan dijadikan oleh masyarakat sebagai sumber mata
pencaharian.
Hasil tangkapan ikan
masyarakat Desa Buluhcina berfluktuasi tergantung musim. Pada saat memasuki
bulan-bulan musim penghujan hasil tangkapan ikan juga meningkat. Tidak hanya
kaum laki-laki namun kaum permpuan juga ikut serta dalam penangkap ikan,
biasanya perempuan-perempuan yang sudah ditinggal mati suaminya.