firmana_putra@rocketmail.com

Jumat, 28 Desember 2012

Menakar Masa Depan Hutan Ulayat Buluhcina versi FKKM

Keindahan tasik di hutan larangan Buluhcina sungguh memukau mata, tanah yang hijau dengan pohon yang sangat besar hingga pelukan beberapa orang dewasa membentang di area seluas 1.000 hektar. Hanya, keindahannya kini semakin terancam dengan meluasnya keinginan menanam sawit dengan member keuntungan ekonomi secara instan.

Desa Buluhcina berjarak 3 Km dari pusat kecamatan, 100 Km dari pusat Kabupaten dan 21 Km dari ibukota provinsi. Desa dengan luas 6.500 hektar ini masuk dalam wilayah kabupaten Kampar. Secara adat desa ini masuk dalam Negeri Enam Tanjung yang terdiri dari 6 desa.
Yang paling menarik dari Desa Buluhcina adalah hutan wisatanya nan elok. Hutan wisata Buluhcina didirikan dengan kesadaran masyarakat adat berdasarkan surat keputusan Lembaga Musyawarah Desa (LMB)Nomor 01-XII/LMB 1997. Areal seluas 1000 hekta ini dicadangkan menjadi  hutan wisata.
Masyarakat Buluhcina rata-rata hanya menggantungkan hidup pada hutan untuk keperluan kayu bakar dan tidak menggantungkan semua kehidupannya secara total. Bahkan tanpa hutan  kehidupan masyarakat ini tidak akan terganggu sama sekali. “sehingga secara pengetahuan dan pengalaman tingkat interaksi masyarakat tidak terlalu tinggi.”
Pengetahuan masyarakat mengenai status hutan biasanya diperoleh dari orang-orang sekitarnya yang sering memanfaatkan hutan untuk menambah penghasilan. Banyak yang memiliki penghasilan utama dari perkebunan sawit atau karet. Selain itu mereka mendapatkan informasi dari pihak penyuluh, media masa dan media cetak mengenai manfaat dan fungsi hutan tetapi tingkat interaksinya kecil.
Jenis-jenis pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Buluhcina terdiri dari pemanfaatan sumberdaya hutan sebagai bahan obat-obatan, bahan makanan, bahan bangunan dan kerajinan tangan, untuk kayu bakar, sebagai makanan ternak dan sebagai sumber kehidupan lainnya. Sumberdaya hutan yang di manfaatkan meliputi hasil hutan non kayu.
Penggunaan sumberdaya hutan khususnya kayu saat ini tidak diperbolehkan lagi berdasarkan aturan yang telah di sepakati pada Musyawarah Besar yang dilakukan oleh masyarakat Desa Buluhcina. Setelah dikeluarkannya aturan untuk larangan dalam menebang kayu pada tahun 1997 bersamaan dengan Musyawarah Besar yang dilakukan, masyarakat Desa Buluhcina tidak diperbolehkan lagi menebang kayu. Namun untuk kayu yang tumbang karena factor alam dan sebelum aturan dikeluarkan boleh dimanfaatkan oleh masyarakat.
Masyarakat juga menggunakan Bambu Pooring untuk membuat sampan hias. Badan sampan dari bambu, kepala sampan dari kayu rengas, dayung sampan dari tusuk gigi dan dudukan sampan dari rumah keong. Dalam satu minggu dapat dibuat sampan hias sebanyak 15 buah namun hanya untuk memenuhi kebutuhan pesanan dari pembeli. Satu buah sampan hias tanpa kaca dijual seharga Rp. 25,000,- sedangkan sampan hias yang diberi kaca dijual seharga Rp.50.000,-
Pengambilan sumberdaya hutan untuk keperluan kerajinan tangan bersifat insidentil karena masyarakat tidak menjadikan pembuatan kerajinan tangan ini sebagai mata pencarian pokok. Hanya momen tertentu seperti pada acara pacu sampan Buluhcina. Sedangkan untuk pembuatan pelita rotan masih dalam skala kecil untuk memenuhi kebutuhan perorangan.
Jenis-jenis sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Buluhcina sebagai bahan makanan terdiri dari bahan makanan untuk sayur-sayuran, buah-buahan, madu. Tumbuhan yang dimanfaatkan sebanyak 11 jenis dari 10 famili.
Penggunaan untuk sendiri dilakukan pada sumberdaya hutan yang sulit untuk di dapatkan sehingga jumlah dan kesinambungannya untuk dikumpulkan sangat terbatas. Sumberdaya hutan yang masuk dalam criteria ini seperti, rebung, umbut rotan, dan lalap-lalapan. Sedangkan sumberdaya hutan untuk dijual dari jenis pakis sayur dan buah-buahan seperti, manggis,rambai, durian dan petai.
Masyarakat ada juga yang menjadi pengumpul sundak langit Biasanya para pengumpul sudak langit juga pengumpul pakis dimana sambil menunggu pakis kembali bertunas para pengumpul akan beralih mencari sundak langit. Pengumpul pakis dilakukan dengan  cara dipetik di lokasi-lokasi penyebaran pakis. Pemetikan pakis dilakukan pada daun yang masih muda. Masyarakat Buluhcina pada umumnya mengambil pakis tiga kali dalam seminggu pada hari senin, selasa dan rabu.  Biasanya pakis yang diambil, banyak tumbuh pada musim penghujan. Pada tingkat pengumpul satu ikat pakis dihargai Rp 1000,- sedangkan apabila pakis sudah sampai dipasar dihargai Rp. 2000,- per ikatnya.
Ada juga masyarakat pengumpul pakis kadang kala juga mengumpulkan umbut rotan. Pengumpul umbut rotan biasanya dilakukan apabila mudah dilihat dan dijangkau. Pengumpul umbut rotan bukan bukan merupakan kegiatan yang dilakukan secara sengaja sehingga hanya beberapa orang saja yang mengumpulkan umbut rotan. Satu batang umbut rotan di hargai Rp.2000,-, atau mereka menjualnya 3 batang Rp.5.000,-.
Selain pakis dan umbut rotan, hutan ulayat Desa Buluhcina juga menghasilkan madu lebah. Masu lebah ini terdapat pada jenis-jenis pohon tertentu yang disukai oleh lebah untuk bersarang. Pohon-pohon yang dihinggapi oleh lebah untuk bersarang disebut Pohon Sialang.
Disamping tumbuhan di hutan ulayat Desa Buluhcina, juga memiliki tujuh buah danau yang disebut danau tapal kuda (Oxbow lake), menurut sejarah pembentukannya danau ini awalnya adalah sungai yang berevolusi dank arena terlalu berbelok-belok menyebabkan terjadinya penimbunan aliran sehingga sungai terbendung dan membentuk danau. Danau ini terletak di dalam kawasan hutan ulayat Desa Buluhcina dan mengandung potensi ikan yang cukup besar. Ikan merupakan hasil hutan bukan kayu (Sumadiwangsa dan setiawan, 2007) dan dijadikan oleh masyarakat sebagai sumber mata pencaharian.
           Hasil tangkapan ikan masyarakat Desa Buluhcina berfluktuasi tergantung musim. Pada saat memasuki bulan-bulan musim penghujan hasil tangkapan ikan juga meningkat. Tidak hanya kaum laki-laki namun kaum permpuan juga ikut serta dalam penangkap ikan, biasanya perempuan-perempuan yang sudah ditinggal mati suaminya.

Rabu, 26 Desember 2012

Fungsi Hutan Terhadap Pengendalian Daur Air


Berlebihan air pada musim hujan,
 kekeringan pada musim kemarau

Akhir-akhir ini kita lebih sering dihadapkan pada suatu keadaan berlebihan air pada musim hujan dan kekurangan air pada musim kemarau. Sampai saat ini masih dipercaya bahwa hutan yang baik mampu mengendalikan daur air maknanya hutan yang baik dapat menyimpan air selama musim hujan dan melepaskannya di musim kemarau. Kepercayaan ini didasarkan atas masih melekatnya dihati masyarakat bukti-bukti bahwa banyak sumber-sumber air dari dalam kawasan huran yang baik tetap mengalir pada musim kemarau. Ketergantungan masyarakat yang tinggal di kawasan sekitar hutan terhadap keberadaan hutan sangat tinggi. Kemampuan hutan sebagai regulator air mampu memberikan kontribusi dalam penyediaan air bagi masyarakat sekitar hutan.  

 Hutan dengan keanekaragaman (Biodiversity) vegetasinya menyimpan air selama musim hujan dan melepaskannya di musim kemarau. Soemarwoto (2001) menjelaskan, jika luas hutan berkurang, laju resapan air ke dalam tanah menurun, laju larian air naik dan bahaya banjir semakin meningkat. Dalam hal ini bertambahnya air karena berkurangnya luas hutan sangatlah merugikan. Laju air akan bertambah jika hutan dikonversikan menjadi bangunan fisik seperti gedung, jalan raya dan bangunan lainnya.

Fungsi Hutan Tanah Masyarakat Melayu


Orang-orang Melayu masa silam sudah memikirkan apa yang terjadi seandainya hak-hak adat dan pengelolaan Hutan Tanah  diabaikan. Karenanya mereka sudah merancang dan menetapkan berbagai ketentuan adat untuk melindungi hak-hak adat masyarakat serta memberikan tunjuk ajar bagaimana pengelolaannya


a.            Fungsi Hutan Tanah
Pengalaman menunjukkan, bahwa di beberapa kawasan Melayu serumpun,  status kepemilikan tanah, terutama “Tanah Wilayat” (Tanah Ulayat) atau lazim disebut “Tanah Adat”, mengalami banyak masalah, karena tanah oleh masyarakat adat masih dianggap ada, sedangkan pihaaklain menganggapnya “tidak ada”. Masalah lain muncul akibat adanya peraturan yang berlaku dan ketetapan serta kebijakan lainnya yang tidak berpihak kepada kepemilikan hak-hak adat, sehingga pembangunan justru “menyengsarakan” masyarakat bukan mensejahterakannya. Banyak sudah hak-hak adat yang diambil dan di alihkan ke pihak lain secara semena-mena. Akibatnya, banyak orang-orang Melayu (lazimnya yang bermukim di kawasan perkampungan) menderita atas kehilangan hak-hak adat atas Tanah Adat yang sejak turun temurun mereka miliki dan kuasai.
Bagi masyarakat Melayu hutan tanah bukan hanya sekeddar tempat hisup dan mencari nafkah, tetapi juga menjadi symbol pengukuhan Tuah dan Maruah serta menjaaadi sumber falsafah dan nilai budaya yang mereka anut. Di dalam ungkapan adat di katakana: ” di dalam hutan, banyak contoh teladan; atau dikatakan: “ di dalam rimba, banyaklah tuah” ; atau dikatakan: “ di dalam belantara, banyaklah faedah” atau dikatakan: “ di dalam bumi dan Air, banyak tempat berfikir…..dst
b.           Fungsi Hutan Tanah Sebagai Pengukuhan Tuah dan Maruah
Orang tua-tua Melayu mengatakan  bahwa masyarakat, pesukuan atau puak yang tidak memiliki hutan tanah, adalah “ibarat semut yang tidak bersarang, ibarat burung yang tak bertempat hinggap, ibarat ayam yang tak bereban, ibarat kerbau tidak berpadang”. Mereka dapat disamakan dengan “hewan yang berkeliaran”. Karenanya, mereka dapat dianggap “rendah”, tidak memiliki tanggung jawab terhadap anak cucunya serta tidak memiliki tuah  dan maruah. Di dalam ungkapan masyarakat atau suku yang tidak berhutan tanah ini dikatakan: “bersuku tidak bertuah, berpuak tidak bermaruah, kelaut ia kan hanyut, keddarat ia kan melarat, ke hulu mendapat malu, ke hilir mendapat aib.

Pustaka
Elviriadi.2011. “Lelaki Ocu Terakhir”. Pekanbaru: CV Nuansa Karya
 

Design By:
SkinCorner